Sekolah Favorit Tidak Menjamin Ubah Karakter Siswa

Selasa, 02 Oktober 2012, 09:34 WIB
<i>Sekolah Favorit Tidak Menjamin Ubah Karakter Siswa</i>
ilustrasi tawuran
DALAM satu pekan kemarin, masyarakat DKI Jakarta dikejutkan dengan sebuah peristiwa yang memilukan sekaligus memalukan.

Saya katakan memilukan karena dalam peristiwa tersebut ada nyawa anak manusia yang harus melayang yakni Alawi Yulianto Putra, 19 tahun, siswa SMAN 6, tewas digeruduk sekelompok siswa SMAN 70 (Senin, 24/9) dan Deni Yanuar, 17 tahun, pelajar kelas  XII SMA Yayasan Karya (Rabu, 26/9).

Dan saya katakan memalukan karena tawuran ini terjadi di institusi pendidikan kita yang seharusnya mampu memberikan nilai-nilai karakter postif namun ternyata kecolongan. Dan parahnya lagi institusi pendidikan yang terlibat dalam tawuran itu adalah sekolah-sekolah favorit yang hampir semua siswanya berlatar belakang ekonomi keluarga yang mampu dan lebih dari cukup.

Peristiwa ini mematahkan argumentasi yang berkembang di masyarakat bahwa kebanyakan tawuran yang terjadi di kalangan pelajar adalah dilatar belakangi oleh kondisi ekonomi yang sulit dan  kurangnya pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah tersebut.

Pada peristiwa tawuran ini sungguh argumentasi itu tidak tepat kita jadikan kambing hitam karena terbukti bahwa justru yang melakukan tawuran itu adalah anak-anak yang memiliki latar belakang ekonomi mampu dan mengenyam pendidikan di sekolah favorit yang secara tidak langsung kurikulumnya juga pasti berbeda dengan sekolah biasanya.

Jangankan pendidikan umum, pendidikan agamanya juga pasti dilebihkan karena memang sekolahnya adalah sekolah favorit.

Pada hari Kamis, (27/9) pertengahan pekan  lalu, saya sempat berdialog dengan seorang bapak yang sedang menunggu bus way di Halte Kwitang, Pasar Senen, Jakarta Pusat. Saya katakan kepadanya, bahwa kita perihatin dengan tawuran yang terjadi di kalangan pelajar di DKI Jakarta akhir-akhir ini.

Beliau pun memberikan argumentasinya dan mengatakan bahwa ini semua kesalahan pemerintah dan pendidikan agama di sekolah. Untuk pemerintah saya mendukung pernyataan beliau karena memang pemerintah dalam hal ini belum tepat dalam merumuskan konsep pendidikan yang baik kepada para siswa karena masih berorientasi kepada angka-angka yakni siapa yang paling tinggi angka hasil belajarnya maka dialah yang berhak untuk masuk ke sekolah-sekolah favorit dan mengenyampingkan kondisi spiritual dan emosional anak didik itu atau bahasa kasarnya biar nakal asal nilainya tinggi dan mampu membayar uang sekolah.

Tetapi untuk alasan yang kedua bahwa penyebab tawuran ini adalah kegagalan guru agama dalam mengajarkan pendidikan moral kepada anak didik di sekolah sungguh terlalu berlebihan. Apakah tanggung jawab moral itu hanya dibebankan kepada guru agama, lalu bagaimana dengan guru-guru bidang studi yang lain?

Bukankah konsep pendidikan kita hari ini adalah pendidikan karakter, yang dalam bahasa awam bahwa dalam setiap proses belajar mengajar di kelas diusahakan siswa tersebut memiliki karakter yang telah dirumuskan dalam kurikulum tersebut? Dan dengan sedikit kesal saya bertanya kepada bapak tadi: "Lalu apa tugas orang tua di rumah Pak? Bukankah dia juga bertanggung jawab untuk mendidikan anak-anakanya karena memang anak tersebut waktunya lebih banyak di rumah daripada di sekolah?"

Dengan nada yang sedikit merendah, diapun berkata: "Kami kan bekerja Pak di luar mencari nafkah dan terkadang pulangnya pun malam hari sehingga gak ada waktu untuk mengurus anak-anak."

Lalu saya pun bertanya lagi kepada beliau: "Jadi apakah ini mutlak salah pemerintah dan guru agama?" Dia pun diam sejenak dan mengatakan: "Sebenarnya bukan hanya pemerintah dan guru agama Pak, tapi kami orang tua dan masyarakat juga salah karena mungkin terlalu cuek dengan anak-anak kami."

Pandangan-pandangan picik seperti inilah yang harus dihapuskan dalam pemikiran orang tua dewasa ini. Mereka menganggap bahwa guru agama adalah seorang penyihir yang mampu mengubah karakter siswa dari manusia bejat manjadi berakhlak. Bukankah kita ketahui bersama bahwa pendidikan agama hanya mendapat jatah dua jam di sekolah dan selebihnya lebih banyak pendidikan umum. Disamping itu pelajaran pendidikan agama pun terkesan hanya pelengkap penderita agar sekolah tersebut tidak menyimpang dari ketentuan yang telah ditetapkan pemerintah.

Perlu ada evaluasi kembali, terhadap jam pelajaran pendidikan agama di sekolah-sekolah tersebut bahkan kalau perlu pendidikan agama menjadi syarat mutlak untuk lulus dalam ujian nasional.
Tentu tidak mudah memang mengubah paradigma berpikir masyarakat hari ini yang cendrung menilai proses keberhasilan pendidikan yang hanya dinilai dari nagka-angka hasil belajar siswa dan bukan dari moralitas yang timbul dalam karakter siswa tersebut.
Tapi satu hal yang pasti bahwa, jika pendidikan kita terus dipertahankan seperti ini dengan mengenyampingkan moral dan tingkah laku para peserta didik itu, maka selamanyalah pendidikan di Indonesia akan terus mengalami masalah demi masalah. Semuanya harus intropeksi diri dan sadar, bahwa proses pendidikan bukanlah ditentukan dari angka-angka itu akan tetapi ditentukan dari nilai-nilai spiritual dan emosional mereka yang kesemuanya itu butuh latihan serius dan tidak bisa direkayasa seperti kita merekayasa nilai-nilai hasil belajar siswa.

M. Abrar Parinduri, MA

Dosen Universitas Ibn Khaldun, Bogor


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA