Pendapat itu disampaikan R. Haidar Alwi, Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI) sekaligus Wakil Ketua Dewan Pembina Ikatan Alumni ITB, menyikapi menguatnya tekanan agar MK memberi klarifikasi di luar putusan hukum. Menurut Haidar, Mahkamah Konstitusi bukan lembaga opini publik, apalagi alat klarifikasi kebijakan administratif.
"MK adalah penjaga konstitusi. Ia berbicara hanya dan semata-mata melalui putusan," ujarnya dalam pesan elektronik yang dipancarluaskan malam ini, Minggu, 14 Desember 2025.
Ia menekankan, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, putusan MK bersifat final dan mengikat. Finalitas itu bukan sekadar tidak adanya upaya hukum lanjutan, melainkan penegasan bahwa seluruh argumentasi hukum telah selesai dan dituangkan secara utuh dalam amar serta pertimbangan putusan.
"Karena itu, tuntutan agar MK memberi penjelasan tambahan di luar putusan justru bertentangan dengan prinsip finalitas itu sendiri," ujarnya.
Haidar juga menilai narasi yang menyebut MK perlu meluruskan multitafsir atas Perpol sebagai keliru secara konseptual. Sebab, MK tidak memiliki kewenangan melakukan interpretasi normatif di luar mekanisme pengujian undang-undang.
Apalagi, lanjutnya, Perpol berada di bawah undang-undang dan bukan objek utama kewenangan MK. Kecuali, jika diuji secara tidak langsung melalui pengujian norma undang-undang yang menjadi dasar lahirnya Perpol tersebut.
"Kalau setiap polemik kebijakan negara harus dijawab MK lewat pernyataan terbuka, maka peradilan konstitusi akan berubah menjadi lembaga reaktif, tunduk pada tekanan opini, bukan lembaga independen yang bekerja berdasarkan hukum," kata Haidar.
Dalam praktik negara hukum modern, kata dia, pengadilan justru menjaga jarak dari kontroversi politik agar imparsialitas dan kewibawaannya tetap terjaga.
Lebih jauh, desakan agar MK angkat bicara dinilainya mengandung risiko serius. Seolah-olah putusan pengadilan belum cukup kuat secara argumentatif sehingga masih membutuhkan legitimasi tambahan di ruang publik.
"Padahal, kekuatan putusan pengadilan tidak terletak pada konferensi pers atau klarifikasi verbal, tetapi pada rasionalitas hukum yang tertuang dalam pertimbangan putusan," ujarnya.
Jika memang terjadi perbedaan tafsir atas Perpol, Haidar menegaskan, mekanisme koreksinya sudah jelas. Mulai dari pembatalan oleh norma yang lebih tinggi, pengujian di Mahkamah Agung, hingga koreksi legislasi oleh pembentuk undang-undang.
"Menyeret MK ke dalam polemik administratif adalah kekeliruan sistemik," tegasnya.
Karena itu, Haidar mengingatkan bahwa tuntutan agar Mahkamah Konstitusi ikut bersuara dalam polemik Perpol bukan hanya tidak tepat, tetapi juga berpotensi merusak prinsip independensi kekuasaan kehakiman.
"MK menjaga kewibawaannya justru dengan diam di luar putusan, bukan dengan ikut meramaikan polemik yang seharusnya diselesaikan lewat mekanisme hukum yang tersedia," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: