Nini menegaskan, apa yang disampaikan Ferry bukan sekadar keliru, tetapi telah menjatuhkan martabat perempuan dan mempermainkan isu pemerkosaan secara tidak bermoral.
“Ini bukan lagi soal tidak sensitif. Ini adalah bentuk pelecehan terang-terangan terhadap perempuan. Isu pemerkosaan diperlakukan seolah cerita sensasi. Ini sangat biadab dan tidak berperikemanusiaan,” tegas Nini dalam keterangan yang diterima redaksi di Jakarta, Minggu, 7 Desember 2025.
Menurutnya, perempuan di wilayah bencana berada dalam kondisi paling rentan karena kehilangan rumah, kehilangan rasa aman, dan mengalami tekanan psikologis berat. Namun justru dalam kondisi itu, mereka kembali dijadikan objek konsumsi publik melalui narasi yang belum terbukti kebenarannya.
“Perempuan kembali diposisikan sebagai korban berlapis. Bencana tidak cukup menghancurkan, sekarang kehormatannya juga dipertaruhkan untuk konten. Ini tidak bisa ditoleransi,” ujarnya.
Nini juga menilai bahwa penyebaran isu pemerkosaan tanpa dasar hukum yang jelas adalah bentuk kekerasan simbolik dan kekerasan psikologis massal yang disengaja atau setidaknya dilakukan dengan ceroboh.
“Sekali isu ini dilempar ke publik tanpa verifikasi, ribuan perempuan akan hidup dalam ketakutan. Ini dampak sosialnya sangat kejam. Jangan berlindung di balik dalih kebebasan berekspresi,” katanya.
Ia mendesak Ferry Irwandi segera bertanggung jawab secara moral kepada publik, khususnya kepada perempuan dan anak-anak yang menjadi penyintas bencana.
“Kalau memang punya bukti, serahkan ke aparat penegak hukum. Kalau tidak, hentikan narasi sesat ini dan minta maaf kepada perempuan Indonesia,” tegasnya lagi.
Lebih lanjut, Nini menyatakan bahwa GAMPI siap mendorong langkah-langkah advokasi apabila narasi semacam ini terus diproduksi dan dibiarkan.
“Kami tidak akan diam ketika isu pemerkosaan dijadikan komoditas konten. Ini bukan soal viral, ini soal kemanusiaan dan harga diri perempuan,” ujarnya.
Nini sebagai aktivis perempuan kelahiran Sumatera ini mengingatkan seluruh kreator konten dan figur publik bahwa ruang digital bukan ruang tanpa etika.
“Satu kalimat ceroboh dari influencer bisa menjadi trauma baru bagi korban. Hentikan eksploitasi penderitaan perempuan di tengah bencana. Ini garis merah,” pungkasnya.
BERITA TERKAIT: