Umrah mandiri melalui platform Nusuk Umrah, memang menjadi perubahan besar dalam ekosistem penyelenggaraan ibadah umrah. Namun, kemudahan akses digital tidak boleh menghilangkan aspek tanggung jawab.
"Pemerintah tetap harus memastikan adanya mekanisme pengawasan, verifikasi, dan mitigasi risiko, baik bagi jamaah yang berangkat secara mandiri maupun melalui penyelenggara," kata Anggota Komisi VIII DPR RI, Dini Rahmania, lewat keterangan resminya, Rabu, 29 Oktober 2025.
Legislator Partai NasDem itu mengatakan bahwa setiap kebijakan yang menyangkut urusan ibadah harus menempatkan keamanan, keselamatan, dan perlindungan jamaah sebagai prioritas utama.
Ia mendorong pemerintah menyusun regulasi turunan yang menjamin adanya keseimbangan antara inovasi digital dan keberlanjutan ekosistem penyelenggara umrah nasional.
Jika skema umrah mandiri dibiarkan tanpa regulasi turunan yang jelas, kata dia, maka manfaat ekonominya bisa lari ke luar negeri. Sedangkan industri perjalanan umrah nasional kehilangan daya saing.
Komisi VIII DPR akan terus mengawal agar transformasi digital dalam penyelenggaraan umrah agar tidak menimbulkan korban baru di lapangan, baik jamaah maupun pelaku usaha. Menurutnya, transformasi itu harus menjadi sarana peningkatan efisiensi, transparansi, dan pelayanan umat.
Di sisi lain, Dini memahami kekhawatiran yang disampaikan oleh Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri) dan asosiasi penyelenggara perjalanan ibadah umrah lainnya.
Dia pun menghormati langkah hukum yang ditempuh oleh asosiasi, yakni menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Menurut Dini, langkah itu merupakan hak konstitusional bagi setiap warga negara.
"Namun dari sisi DPR, kami menilai bahwa UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) masih bisa dioptimalkan melalui peraturan pelaksana yang lebih rinci, bukan harus langsung direvisi," tandasnya.
BERITA TERKAIT: