Ketua Caretaker Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Brahma Aryana, menilai bahwa representasi rakyat di lembaga legislatif perlu dikaji secara mendalam pasca Pemilu Serentak 2024. Banyak suara pemilih yang dikonversi menjadi suara partai politik (parpol) untuk masuk parlemen justru terbuang sia-sia.
“Fakta politik Indonesia hari ini menunjukkan hal sebaliknya. Representasi parpol kecil yang tidak mendapatkan kursi parlemen justru diakomodasi dalam kabinet pemerintahan saat ini,” ujar Brahma kepada RMOL, Jumat, 10 Oktober 2025.
Untuk memperbaiki sistem kontestasi agar lebih adaptif terhadap perkembangan zaman serta menghadirkan keadilan yang berintegritas, Brahma—yang akrab disapa Bram—mendorong adanya evaluasi menyeluruh terhadap sistem pemilu.
"Sebagai republik yang terus berupaya mematangkan konsolidasi demokrasinya, dibutuhkan rekonstruksi sistemik yang lebih fundamental," sambung Brahma.
Salah satu aspek yang sangat jelas mesti dievaluasi, menurut Bram adalah terkait penerapan sistem proporsional terbuka yang telah berjalan belasan tahun. "Evaluasi terhadap sistem proporsional terbuka (SPTb) yang kita anut telah melahirkan insentif bagi individu untuk bersaing satu sama lain memperebutkan suara, yang seringkali mengesampingkan kompetensi, integritas, dan koherensi ideologi demi modal finansial," tuturnya.
Sarjana hukum dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) itu menambahkan, mekanisme persaingan antar-kandidat dari partai yang sama dalam sistem proporsional terbuka turut berimplikasi pada tingginya biaya kampanye dan suburnya praktik politik uang.
Akibatnya, proses seleksi calon cenderung bergeser dari berbasis meritokrasi menjadi berbasis modal, yang akhirnya menghasilkan parlemen yang didominasi oleh segmen masyarakat dengan kekuatan finansial besar.
“Karena itu, pergeseran ke sistem proporsional tertutup menjadi keniscayaan strategis untuk mengatasi akar permasalahan tersebut,” jelasnya.
Menurut Bram, dampak sistem proporsional terbuka yang berlaku saat ini membuat parlemen menjadi ringkih secara substansi dan kehilangan legitimasi demokratisnya, karena tidak lagi mencerminkan aspirasi rakyat secara otentik.
BERITA TERKAIT: