Wacana itu mengemuka pada diskusi publik yang digelar Koalisi Pewarta Pemilu dan Demokrasi (KPPD) bertajuk "Menakar Dampak Putusan MK Terhadap Kontestasi 2029" di Bawaslu RI, Jalan MH Thamrin, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu 9 Juli 2025.
Dalam diskusi tersebut, hadir Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja, Anggota KPU RI August Mellaz, Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PDIP Giri Ramanda Kiemas, dan Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Heroik M Pratama.
Dalam paparannya, Heroik selaku perwakilan dari pihak yang mengajukan permohonan uji materiil Pasal keserentakan pemilu di UU 7/2017, mengungkap hal-hal pokok tentang keberhasilannya di MK antara lain salah satunya terkait dengan dampak dari pengalaman keserentakan pemilu 5 kotak yakni pilpres, pileg DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.
"Kalau kita, pasca 2019 sebenernya sudah ada wacana revisi UU Pemilu, tapi kita masih inget betul dan kemudian itu tidak jadi dilangsungkan," ujar sosok yang kerap disapa Oik itu.
Keserentakan Pemilu 2019 yang berdampak signifikan seperti petugas adhoc yang meninggal dunia, soal partisipasi pemilih, irisan tahapan Pilkada, dan politik transaksional yang tidak bisa dihindari, menjadi dasar Perludem mengajukan gugatan kembali ke MK setelah sempat gagal.
"Kondisi itu dan juga evaluasi Pemilu 2024 yang kami lihat ada permasalahan berulang, maka kami datang kembali ke Mahkamah Konstitusi untuk kemudian menjudicial review ketentuan desain keserentakan pemilu," jelasnya.
"Dan memang sejak awal kami mendorong ketika datang ke MK, mulai dari putusan 55 itu kami selalu memohonkan Pemilu Serentak adalah Pemilu serentak Nasional dan Pemilu Serentak Lokal," tambahnya menegaskan.
Akan tetapi, Giri Ramanda Kiemas sebagai seorang legislator memandang adanya sejumlah persoalan yang muncul, di saat tata ulang regulasi pemilu tengah dipersiapkan DPR dan fraksi-fraksi partai politik (parpol) di dalamnya, meskipun secara formal belum dibahas materiil rancangannya di tahun ini.
Di samping itu, dia juga mengamati sikap parpol-parpol pasca munculnya Putusan MK Nomor 135/2024 cenderung berbeda-beda, apabila pemilu daerah dijeda 2 hingga 2,5 tahun pelaksanaannya setelah pemilu nasional, karena terdapat sejumlah dampak seperti dugaan inkonstitusionalitas hingga soal kekosongan jabatan anggota DPRD dan kepala daerah.
"Sudah beberapa partai yang menyatakan sikap secara terbuka. Ada yang mayoritas seperti tidak setuju dilaksanakan (putusan MK). Jadi kita tunggu saja dulu nih kajian-kajiannya parpol-parpol seperti apa, karena tadi komplikasi-komplikasi ini apakah bisa kita lalui atau tidak," tuturnya.
Sementara itu, Bagja dan Mellaz sebagai penyelenggara pemilu enggan masuk terlalu dalam ke persoalan dampak perubahan undang-undang, atas munculnya Putusan MK 135/2024, khususnya terhadap penyusunan regulasi yang akan dilangsungkan DPR di tahun depan.
"Kami serahkan semua pada pembentuk UU. Karena kami bisa sampaikan dan menjadi perhatian buat negara ini butuh waktu jeda melaksanakan UU dengan pelaksanaan penyelenggara pemilu," ucap Bagja.
"KPU dalam konteks apapun tidak bisa mengomentari putusan tersebut. Itu pembentuk undang-undang yang melakukan tindak lanjut, nanti topiknya bagaimana, maka KPU akan lakukan. Karena KPU sudah mengucapkan sumpah janji, jadi KPU tinggal laksanakan," pungkas Mellaz mewakili KPU.
BERITA TERKAIT: