“Pesantren siap berubah, bahkan siap membuka pendidikan berbahasa asing. Tapi kami butuh dukungan agar tidak ditinggalkan oleh zaman,” tegas KH Syaifullah.
Dalam laporannya, ia menyampaikan bahwa konferensi yang berlangsung selama tiga hari ini diikuti oleh 400 peserta dari berbagai kalangan, mulai dari pesantren, lembaga pendidikan non-pesantren, hingga para peneliti dan pengamat, termasuk dari Dewan Syuro PKB.
“Peserta datang dengan satu tujuan, yaitu merumuskan agar pesantren tetap eksis dan mampu terlibat dalam perubahan sosial,” ujar KH Syaifullah.
Ia menegaskan, ruh ideologi pesantren tetap harus dijaga dan tidak boleh dikoyak oleh perubahan zaman. Namun, di sisi lain, pesantren juga tidak boleh menutup diri dari kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi.
Menurutnya, jika pesantren menolak transformasi, maka akan semakin tertinggal dan terpinggirkan.
“Pesantren harus mengintegrasikan pengetahuan agama dengan teknologi modern. Itu fardhu ain. Tapi untuk bisa maju, pesantren juga butuh fasilitas, regulasi, jaringan, serta dukungan konkret dari negara,” tambahnya.
KH Syaifullah juga mengingatkan pentingnya komitmen negara dalam mendukung pesantren secara nyata, termasuk alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen yang selama ini dinilai belum menyentuh pesantren secara maksimal. Ia juga mengkritisi kemungkinan adanya regulasi yang inkonsisten dengan Undang-Undang Pesantren.
“Negara masih punya utang sejarah kepada pesantren. Jangan baru minta hak sedikit saja sudah diamputasi lewat kebijakan atau regulasi,” tegasnya lagi.
Dalam kesempatan itu, ia turut mengingatkan soal lonjakan jumlah pesantren yang mencapai 40 ribu saat ini dari sekitar 32 ribu pada tahun 2022. Ia mewanti-wanti potensi munculnya pesantren abal-abal yang hanya mengejar anggaran atau membawa ideologi yang tidak sejalan dengan nilai-nilai kebangsaan.
BERITA TERKAIT: