Ketua Umum Ikatan Alumni Perempuan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA Perempuan PMII), Luluk Nur Hamidah menyampaikan keprihatinan yang mendalam terhadap pernyataan Fadli Zon tersebut.
“Pernyataan tersebut bukan sekadar bentuk ketidakpekaan, tetapi juga pengingkaran terhadap sejarah kekerasan seksual yang panjang dan berulang di Indonesia, dari tragedi 1965, konflik di Timor Leste dan Aceh, hingga kekerasan terhadap perempuan di Papua dan wilayah konflik lainnya,” kata Luluk dalam keterangan tertulisnya yang diterima redaksi, Senin malam, 16 Juni 2025.
Politikus PKB itu menganggap kekerasan seksual telah lama menjadi alat kekuasaan untuk menundukkan tubuh dan suara perempuan.
“Menyangkalnya berarti memperkuat budaya impunitas, membungkam penyintas, dan membuka jalan bagi kekerasan serupa terjadi kembali,” tegas Luluk.
Pihaknya juga menegaskan bahwa kekerasan seksual massal pada Mei 1998 adalah fakta sejarah yang telah ditelusuri dan dikonfirmasi oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), Komnas Perempuan, hingga berbagai organisasi HAM nasional dan internasional.
“Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon adalah bentuk reviktimisasi dan delegitimasi terhadap suara korban, serta bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dan konstitusi yang menjamin hak atas rasa aman, keadilan, dan martabat,” ungkapnya.
Menurutnya, pengingkaran terhadap fakta ini mencederai perjuangan reformasi, di mana perempuan turut menjadi pelopor perubahan dan pembela korban kekerasan negara.
Lanjut Luluk, kekerasan seksual dalam konteks sejarah Indonesia bukan insiden terisolasi, melainkan bagian dari pola kekerasan struktural yang membutuhkan pengakuan, keadilan, dan pemulihan yang tuntas.
“Kami mendesak Bapak Fadli Zon untuk mencabut pernyataannya secara terbuka dan menyampaikan permohonan maaf kepada para penyintas serta keluarga korban,” tegasnya lagi,
“Kami mengingatkan sebagai pejabat publik untuk berhati- hati dan tidak melakukan kebohongan adanya fakta perkosaan massal Mei '98, karena mencoreng etika publik dan komitmen pada nilai-nilai hak asasi manusia,” imbuh dia.
Ia meminta pemerintah dan lembaga negara untuk memperkuat mekanisme pengungkapan kebenaran, jaminan ketidakberulangan, serta pemulihan yang layak bagi seluruh korban kekerasan seksual.
Selain itu, Luluk berharap media dan publik untuk berdiri bersama para penyintas dan melawan narasi penyangkalan sejarah.
“IKA Perempuan PMII percaya bahwa tanpa keberanian menghadapi kebenaran, tidak akan pernah ada keadilan. Tanpa keberpihakan pada korban, demokrasi hanyalah formalitas tanpa jiwa. Mari kita jaga sejarah, rawat kemanusiaan, dan bersolidaritas dengan para penyintas. Kami tidak akan diam. Kami tidak akan lupa,” tandasnya.
BERITA TERKAIT: