Haidar Alwi: Perpres 66/2025 Bagian dari Arsitektur Nasional Antikorupsi

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/bonfilio-mahendra-1'>BONFILIO MAHENDRA</a>
LAPORAN: BONFILIO MAHENDRA
  • Jumat, 23 Mei 2025, 19:17 WIB
Haidar Alwi: Perpres 66/2025 Bagian dari Arsitektur Nasional Antikorupsi
Pendiri Haidar Alwi Institute, R. Haidar Alwi/Istimewa
rmol news logo Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2025 tentang Perlindungan Negara terhadap Jaksa merupakan pernyataan serius negara dalam membangun sistem hukum yang berkeadilan, aman, dan tidak mudah diintervensi oleh kekuatan no-hukum. 

Menurut Pendiri Haidar Alwi Institute, R Haidar Alwi, Perpres ini bukan sekadar instrumen administratif, melainkan bagian dari fondasi struktural arsitektur nasional antikorupsi.

Lebih lanjut, Haidar menekankan bahwa keberanian seorang jaksa tidak boleh berdiri dalam ruang kosong, melainkan harus ditopang oleh perlindungan sistemik dan kerja sama yang berkelanjutan dengan aparat hukum lainnya.  Di sinilah, sinergi antara jaksa dan penyidik Polri menjadi poros utama keberlangsungan sistem hukum pidana. 

“Perpres ini memberi ruang, bukan sekadar perlindungan fisik, tetapi juga jembatan sinergi yang makin kokoh antara keduanya,” kata Haidar dalam keterangannya, Jumat 23 Mei 2025.

Perpres ini, dalam pandangan Haidar, menegaskan posisi Negara yang tidak hanya ingin menjamin keamanan Jaksa dalam menjalankan tugas, tetapi juga memperkuat pola komunikasi dan koordinasi antara Jaksa dan Polri. 

Dengan jaminan perlindungan dari intimidasi dan teror, Jaksa kini dapat menjalin sinergi secara terus-menerus, setiap saat, dengan penyidik Polri dalam membangun berkas perkara yang utuh dan tidak terputus.

Namun, Haidar juga mengingatkan bahwa penguatan Kejaksaan melalui Perpres ini tidak boleh ditafsirkan sebagai peluang dominasi tunggal dalam sistem hukum. 

Lebih lanjut, ia menyoroti kekhawatiran sebagian pihak tentang potensi menguatnya dominus litis, yakni kecenderungan jaksa menjadi pemegang kendali tunggal dalam penyidikan dan penuntutan. Jika perlindungan dan perluasan kewenangan tidak dibarengi dengan pengawasan dan keseimbangan, maka bisa muncul monopoli proses hukum yang merugikan keadilan itu sendiri.

“Perlindungan tidak boleh berubah menjadi kekebalan, dan penguatan jangan menjadi pemusatan. Penegakan hukum harus tetap berjalan dalam kerangka check and balances," kata Haidar.

Dalam realitas di lapangan, Haidar menilai bahwa Jaksa tidak hanya menghadapi beban pembuktian di pengadilan, tapi juga tekanan dari pihak-pihak yang merasa terancam oleh proses hukum. 

“Dalam kasus korupsi besar atau perkara strategis lainnya, keberanian Jaksa hanya mungkin muncul jika ada jaminan Negara. Perpres 66/2025 adalah bentuk konkret Negara tidak tinggal diam. Ini bukan hadiah bagi Kejaksaan, tapi kewajiban konstitusional,” jelas Haidar.

Haidar menolak keras narasi yang menyebut pelibatan TNI dalam Perpres ini sebagai ancaman dwifungsi. Baginya, ini adalah bentuk adaptasi konstitusional terhadap kebutuhan proteksi kelembagaan.

TNI, tegasnya, tidak akan masuk ke wilayah yuridis. Fungsi mereka terbatas sebagai pengaman institusi dan pengawal jika terjadi situasi darurat yang membahayakan keselamatan aparat penegak hukum.

“Penguatan perimeter Kejaksaan dengan dukungan TNI sama halnya seperti pengamanan objek vital negara. Jaksa bukan aparat biasa. Mereka adalah penjaga gerbang keadilan,” tuturnya.

Selain perlindungan fisik, Haidar Alwi menyoroti dimensi intelijen yang tercakup dalam Perpres ini. Pembukaan kerja sama antara Kejaksaan, BIN, dan BAIS TNI dinilai sebagai langkah maju dalam meningkatkan sistem deteksi dini. Dalam era kejahatan siber, transaksi lintas negara, dan infiltrasi politik terhadap hukum, sistem peringatan dini sangat penting.

“Perlindungan bukan hanya soal pagar dan bodyguard. Ini soal kemampuan Negara membaca pola ancaman. Intelijen harus tahu jika ada skema mengintimidasi Jaksa, baik melalui buzzer, rekayasa opini, maupun serangan nonfisik. Dalam konteks ini, sinergi BIN-BAIS-Kejaksaan adalah terobosan strategis,” ujar Haidar.

Ia menegaskan bahwa kerja sama intelijen ini bukan bentuk represif negara terhadap kebebasan sipil, tapi penguatan sistem hukum agar berjalan tanpa gangguan bawah tanah yang tak kasat mata.

Kembali ke peran Polri, Haidar Alwi menyebut bahwa dengan perlindungan dari Perpres ini, Jaksa akan lebih leluasa membangun pola kerja dinamis dengan penyidik. Tidak ada lagi jeda-jeda ketakutan yang membatasi komunikasi antara jaksa dan penyidik. 

Ia berharap ke depan, koordinasi Jaksa dan Polri tidak hanya terjadi saat penyerahan berkas, tetapi sejak awal penyidikan, dalam semangat due process of law.

Ia juga menyebut bahwa Polri di bawah Kapolri Jenderal Listyo Sigit telah menunjukkan komitmen untuk membuka ruang koordinasi yang lebih luas dengan Kejaksaan.

 “Jangan bayangkan Perpres ini sebagai pagar. Bayangkan sebagai jembatan yang menghubungkan dua pilar hukum kita, Polri sebagai penyidik dan Kejaksaan sebagai penuntut umum. Ini peta jalan baru untuk memperkuat integrasi penegakan hukum,” demikian Haidar Alwi. rmol news logo article
EDITOR: AGUS DWI

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA