Ia menilai konflik tersebut terjadi karena masyarakat tidak mengetahui bahwa lahan yang mereka tempati turun-temurun ternyata masuk dalam area konsesi perusahaan.
"Apakah status hutan itu otomatis boleh dijadikan hak konsesi? Ada kesalahan fundamental di kementerian dan lembaga terkait yang harus dievaluasi," ujar Penrad dalam keterangannya, Minggu, 16 Februari 2025.
Menurutnya, keberadaan PT TPL kerap menciptakan konflik dengan masyarakat lokal yang berujung pada aksi kekerasan.
Selain kekerasan fisik, banyak warga yang mengalami kriminalisasi dalam berbagai bentuk.
Masyarakat adat yang mempertahankan tanah leluhurnya sering kali berhadapan dengan proses hukum yang dianggap tidak adil.
Ia menegaskan bahwa pendekatan humanis seharusnya menjadi prioritas perusahaan dalam menangani masalah ini.
"Di banyak tempat, PT TPL telah memicu konflik dan kekerasan. Saya mendesak agar mereka mengedepankan pendekatan humanis, bukan kekerasan," tegasnya.
Penrad juga menyatakan komitmennya untuk mendorong agar dilakukannya audit terhadap persoalan yang telah berlangsung selama puluhan tahun tersebut.
"Saya akan mendorong dilakukannya audit terkait konflik yang sudah terjadi selama puluhan tahun di dapil saya, Sumatra Utara," tegasnya.
Penrad menyoroti kewajiban PT TPL untuk menyelesaikan konflik tenurial sesuai dengan Perpres 86 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Konflik Tenurial di Kawasan Hutan serta Permen LHK Nomor 84 Tahun 2016.
Namun, ia menilai perusahaan belum menjalankan mandat tersebut.
BERITA TERKAIT: