Seperti diungkap Anggota Komisi IV DPR RI, Arif Rahman, meskipun sejak awal masyarakat sudah melaporkan adanya pembangunan pagar laut sepanjang 7 km pada Agustus 2024, tidak ada respons jelas dari pihak kementerian.
“Ini muncul setelah viral. Ini kalau seperti ini terus setelah viral-viral ini juga kan bahaya,” tegas Arif dalam rapat kerja Komisi IV DPR dengan Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Kamis, 23 Januari 2025.
Legislator Nasdem ini juga mengkritik peran Menteri Sakti Wahyu Trenggono yang dianggap gagal menyelesaikan masalah ini. Menurut Arif, Menteri seharusnya menjadi pemecah masalah, bukan justru membuat pernyataan yang memperkeruh situasi.
“Nah ini harus juga menjadi perhatian Pak Menteri supaya juga Pak Menteri pada saat muncul harus punya solusi,” tegasnya.
Arif juga mengungkapkan bahwa keberadaan pagar laut tersebut mengganggu nelayan di wilayah tersebut, yang merasa terdampak oleh kebijakan tersebut. Dalam kunjungannya ke wilayah mangrove, Arif menemukan bahwa nelayan mengeluhkan adanya hambatan akibat pembangunan pagar yang seharusnya lebih terkoordinasi.
“Saya tanyakan, ya nelayan selama ini merasa terganggu dengan adanya pagar itu. Jadi, ini harus menjadi perhatian kita semua agar Pak Menteri juga ke depan bisa bekerja lebih baik,” kata Legislator Dapil Banten I ini.
Dia juga mengingatkan bahwa setiap pemanfaatan ruang laut harus memperoleh persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (PKKPRL) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Namun, di lapangan, ditemukan ketidaksesuaian antara kebijakan kementerian dengan yang diterapkan oleh pemerintah daerah. Khususnya di Bekasi, yang menganggap proyek tersebut legal sementara kementerian menyebutnya ilegal.
“Ini contoh di Bekasi Pak, kemarin waktu ditanyakan ini Kepala Dinas Kelautan Jawa Barat Hermansyah mengaku pemagaran laut tersebut merupakan kerja sama antara pemerintah daerah dengan PT Tunas Ruang Pelabuhan Nusantara, tapi di sisi lain kementerian kelautan menganggap ini ilegal,” ungkapnya.
Karena itu, menurut Arif, persoalan ini timbul akibat kurangnya koordinasi antara kementerian dan pemerintah daerah.
“Jadi ini menunjukkan bahwa KKP dengan dinas kelautan dan perikanan daerah tidak ada sinkronisasi. Nah itu yang saya minta supaya bagaimana caranya itu ada sinkronisasi antara kementerian dengan pemerintah daerah,” ujarnya.
Lebih lanjut, Arif menyoroti permasalahan HGB di laut yang kini muncul sebagai sorotan utama. Dulu, hal ini dianggap tidak mungkin, tetapi kini HGB di laut menjadi kenyataan yang menimbulkan pertanyaan di masyarakat.
“Dulu saya enggak percaya kalau ada orang punya girik laut pak, dulu wah kita punya girik laut, ternyata sekarang beneran ternyata ada HGB di laut ya, ini jadi pertanyaan kita. Dan itu tidak mungkin kan itu kan, harus pasti ada koordinasi,” kata dia.
Arif terus menekankan pentingnya koordinasi antara kementerian dan pemerintah daerah untuk mencegah kebingungan dan memastikan kebijakan yang diambil tepat sasaran.
“Makanya juga menandakan bahwa koordinasi antarkementerian ini juga bermasalah menurut saya. Itu kan terbukti pada saat kemarin bicara segel, yang satu membongkar tiba-tiba kemarin Pak Nusron (Menteri ATR/BPN) juga bicara dicabut. Memang hak Pak Nusron, tapi kan seharusnya ada koordinasi. Karena wilayah yang diberikan HGB itu juga ada di laut kan gitu. Jadi, koordinasi antarkementerian juga saya harapkan juga supaya bisa lebih efektif supaya jangan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan ke masyarakat,” demikian Arif.
BERITA TERKAIT: