Menurut Direktur Pusat Riset Politik, Hukum dan Kebijakan Indonesia (PRPHKI), Saiful Anam, dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Agama (PMA) 22/2024, maka akan semakin membuat bingung masyarakat.
"Karena kan masyarakat kita ini kan kulturnya suka berkumpul dan silaturahmi, biasanya berkumpul dan silaturahmi dilakukan pada hari Sabtu, Minggu atau hari-hari libur nasional," kata Saiful kepada
Kantor Berita Politik dan Ekonomi RMOL, Senin, 14 Oktober 2024.
Namun jika hal tersebut justru tidak diperkenankan oleh PMA 22/2024, kata Saiful, maka sama saja aturan tersebut tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
Saiful menilai, peraturan tersebut sangat tidak peka. Mestinya, semua aturan harus mendasarkan pada nilai-nilai sosiologis yang berkembang di masyarakat.
Dalam membuat aturan, lanjut Saiful, jangan terkesan tangan besi dengan membatasi harapan dan keinginan masyarakat yang selama ini telah turun temurun dilaksanakan.
"Ini terkesan Kementerian Agama buta terhadap gejala sosial yang telah lumrah dan lazim terjadi di lapangan, yaitu yang namanya akad nikah seringkali dilakukan pada hari-hari libur, tapi mengapa justru dilarang, ini tentu aneh dan meresahkan," terang Saiful.
Untuk itu, kata Saiful, jika peraturan tersebut tidak segera dirubah, maka akan semakin memberikan dampak citra negatif terhadap penyelenggaraan pemerintahan ke depan.
"Jangan-jangan memang ada kesengajaan agar pernikahan diselenggarakan pada hari kerja agar mengganggu perusahaan atau bahkan menggangu perekonomian dan kultur masyarakat yang selama ini telah sering dilakukan oleh masyarakat luas," kata Saiful.
Melihat itu, akademisi Universitas Sahid Jakarta ini menilai, hal tersebut merupakan bagian dari kebijakan buruk Kemenag selain persoalan kuota Haji 2024 yang mendapat sorotan.
"Saya kira publik belum selesai dengan urusan haji dan umrah, justru disajikan masalah yang seharusnya tidak menjadi masalah, tapi Kemenag sendiri yang cari masalah dengan membuat bleid yang mengakibatkan kontroversi bagi masyarakat," pungkas Saiful.
BERITA TERKAIT: