Menurut akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila), Yusdianto, menolak pendaftaran dengan alasan terkendala Silon sangatlah mengada-ada. Sebab, seharusnya KPU Lampung Timur bisa menerima pencalonan tersebut dan Silon bisa menyusul kemudian.
"Ada praktik yang keliru dalam penerimaan pendaftaran, karena Silon hanya alat bantu, prosesnya bisa dilakukan manual dulu," kata Yusdianto, dikutip
RMOLLampungKamis (5/9).
Ketua Jurusan Hukum Tata Negara Unila ini bahkan menyinggung adanya begal demokrasi di Lampung Timur. Begal demokrasi ini bukan hanya menyerang partai politik tetapi juga sampai ke pengisian komposisi penyelenggara dan pengawas Pemilu.
"Pengisian komposisi dalam penyelenggara itu punya dampak atas apa yang terjadi dalam proses ini. Kita menduga begal demokrasi juga ada di penyelenggara," sambungnya.
Begal di partai politik, kata Yusdianto, berupa praktik monopoli atau membuat koalisi gemuk sehingga tidak bisa muncul penantang dalam Pilkada.
"Kompleks sekali permasalahan Lampung Timur ini. Saya lihat dari hulu sampai hilir sudah terkondisikan, sehingga begal demokrasi itu terjadi, masyarakat juga yang nantinya dirugikan," katanya lagi.
"Cara begalnya dari monopoli parpol sampai pengondisian penyelenggara. Demokrasi yang kita anggap santun, berkeadilan dan keterbukaan ternyata tidak selaras dengan prinsip yang ada," pungkas Yusdianto.
Sebelumnya, KPU Lampung Timur resmi menolak pendaftaran pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati, Dawam Rahardjo dan Ketut Erawan, yang diusung PDIP pada hari terakhir perpanjangan pendaftaran, Rabu (4/9).
Alasannya, PDIP masih tercatat sebagai partai pengusung Ela Siti Nuryamah dan Azwar Hadi di dalam Silon. Sementara, Dawam dan Ketut belum mengajukan pendaftaran pada Silon sehingga KPU tidak bisa mengakses proses pencalonannya.
Selain itu, admin Silon paslon Ela dan Azwar yang bernama Haris, dikabarkan menghilang. Akibatnya, Paslon Dawam-Ketut yang diusung PDIP tidak bisa memproses cabut dukungan di Silon.
BERITA TERKAIT: