Pasalnya, pegiat anti korupsi Hardjuno Wiwoho nilai kerugian negara yang berhasil diselamatkan sangat kecil dan masih jauh dari harapan. Bahkan, angka ini tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk mendanai Satgas BLBI.
"Terus terang, agak mengecewakan melihat hasil kerja satgas BLBI ini. Padahal waktunya (masa kerja Satgas BLBI) cukup panjang," ujar Hardjuno Wiwoho kepada wartawan di Jakarta, Rabu (21/8).
Tercatat hingga semester satu tahun 2024, Satgas BLBI telah membukukan perolehan aset BLBI sebesar 44,7 juta meter persegi dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp38,2 triliun.
Artinya, kata Hardjuno, 34,59 persen hak tagih negara telah berhasil dikembalikan oleh Satgas BLBI dari kewajiban sebesar Rp110,45 triliun.
Hal tersebut, lanjutnya, membuktikan bahwa masalah BLBI memang cukup kompleks, yakni perpaduan antara moral hazard para pihak yang terlibat dan menarik kepentingan ekonomi politik yang cukup kuat di dalam kasus tersebut.
Semestinya tegas Hardjuno, BLBI, yang awalnya diberikan pada akhir 1990-an untuk menyelamatkan perbankan nasional, dikembalikan dengan hasil yang setara.
Namun, setelah bertahun-tahun upaya penagihan, dana tunai yang berhasil dikumpulkan jauh dari harapan.
Bahkan, katanya, sebagian besar aset yang disita berupa properti dan barang jaminan yang nilai moneternya belum terealisasi sepenuhnya.
"Konversi aset non-tunai menjadi dana yang dapat langsung digunakan oleh negara seharusnya menjadi prioritas," tuturnya.
"Tanpa itu, hasilnya hanya akan menjadi sekumpulan aset yang belum tentu mudah dimonetisasi," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: