Hal itu disampaikan anggota Komisi I DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin (13/5).
"Ini sama halnya dengan diskursus subtansi di revisi UU ITE, di mana hal lisan dan tulisan sudah diatur dalam KUHP seperti
hate speech dan lain-lain. Hanya diperluas dalam format digital," kata Bobby
Legislator dari Fraksi Golkar ini mengatakan bahwa isi draf RUU Penyiaran itu disesuaikan dengan kode etik jurnalistik.
"Ini pun serupa, tidak ada perubahan norma, yang diatur dalam Kode Etik Jurnalistik dalam format mass media, diteruskan dalam format siaran," kata Bobby.
"Jangan sampai ada upaya 'pengecualian', kegiatan jurnalistik dalam OTT yang ingin dibedakan alias tanpa Kode Etik Jurnalistik," sambungnya.
Ia menambahkan, kegiatan siar di frekuensi siaran masuk ranah Kode Etik jurnalistik, tetapi frekuensi giat siaran di frekuensi telekomunikasi (OTT) 'dikecualikan'.
"Karena semangatnya, kita ingin masyarakat mendapatkan hal positif dari kegiatan penyiaran dan melindungi dari hal yang kontraproduktif, spekulatif yang mengarah pada hal-hal negatif," tutup Bobby.
Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran terbaru menuai polemik di publik. RUU tersebut dinilai berbagai pihak memberangus kebebasan pers.
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Dewan Pers, hingga Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) satu suara merespons RUU Penyiaran tersebut. Mereka kompak menilai RUU itu bernada negatif untuk kemeredekaan pers.
BERITA TERKAIT: