Dituturkan Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Marsudi Syuhud, syarat pertama adalah melaksanakan hasil-hasil dari kesepakatan bersama (
wujubu al-syuro al wulati al-umur). Dalam konteks bernegara dan berbangsa, kesepakatan itu berupa undang-undang atau keputusan.
Jika hal itu diingkari, maka aktivitas bernegara akan carut-marut.
Kedua, adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara (
al-masuliyyah al-fardhiyyah). Suara rakyat dalam pemilu harus dijunjung tinggi tanpa intimidasi dan intervensi.
“Dalam pemilu ini ada hak
masuliyyah, fardhiyyah, individu-individu yang akan memilih kemaslahatan untuk menyiapkan pemimpinnya,” ucap Marsudi melalui keterangannya di Jakarta, Rabu (17/1).
Selanjutnya, syarat ketiga dalam keberlangsungan demokrasi adalah aktivitas bernegara harus menyangkut kepentingan bersama (
umumi al-huquq baina al-nas). Kepentingan rakyat harus menjadi orientasi dari keberlangsungan suatu pemerintahan.
Terakhir, tegaknya demokrasi juga ditentukan oleh adanya penghargaan dan penghormatan terhadap adanya setiap perbedaan di antara sesama (
at-tadhomu baina ar-ra’yati ala ikhtilafi ath-thawaif wa at-tabaqat).
Hal itu juga disampaikan Marsudi di depan tokoh majelis-majelis lintas agama dalam kegiatan Silaturrahim Nasional Pemilu Damai yang digelar oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Grand Sahid Jaya Jakarta, Selasa (16/01).
Kata Kiai Marsudi, tokoh-tokoh majelis lintas agama berkumpul untuk menjaga satu pilar dari keberlangsungan demokrasi itu sendiri, yaitu pemilu damai, jujur, adil, dan bermartabat. Sesuai dengan tema Silaturrahim Nasional yaitu "Mengawal Pemilu Damai, Jujur, Adil, dan Bermartabat".
BERITA TERKAIT: