Pengamat Politik dari FHISIP Universitas Terbuka Insan Praditya Anugrah menyatakan ketiga paslon sepakat bahwa Indonesia harus punya peran global yang signifikan dan perlunya pembenahan internal terlebih dahulu.
"Dalam debat ini para paslon pada intinya sepakat bahwa kita baru dapat berperan di ranah global apabila sudah dapat memperbaiki kondisi internal, namun soal fokus isunya ketiga calon memiliki perbedaan fokus. Perbaikan dari sisi internal ini penting karena menentukan daya tawar Indonesia dalam pergaulan internasional," kata Insan kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Senin (8/1).
"Anies Baswedan tampak begitu kuat pada ranah diplomasi budaya, climate change, isu-isu keamanan non tradisional dan peran Indonesia dalam merangkul negara-negara Selatan atau Global South,” tambahnya.
Sayangnya, lanjut Insan, capres nomor urut 1 itu tidak realistis ketika anggaran terbatas namun menjanjikan kenaikan tunjangan yang besar kepada para aparatur negara (khususnya TNI-Polri).
“Anies juga tidak satu suara dengan cawapresnya Muhaimin Iskandar. Pada satu sisi, dia Ingin anggaran pertahanan naik jadi 1 hingga 2 persen (dari PDB), padahal Muhaimin menyatakan tidak perlu beli senjata pada kondisi damai," jelas insan.
Sementara Capres Nomor Urut 2, Prabowo Subianto punya ide yang dewasa soal peran geopolitik Indonesia yakni non-blok dan bebas aktif. Sedapat mungkin Indonesia tidak bermusuhan dan masuk blok tertentu, namun memiliki peran signifikan dalam perdamaian global.
“Agar Indonesia memiliki peran signifikan, maka Prabowo menekankan pentingnya nilai tambah melalui hilirisasi industri agar Indonesia punya posisi tawar yang tinggi. Prabowo juga punya kekuatan di pengetahuan soal ketentuan teknis seperti prioritas usia pakai alutsista yang masih lama lebih penting ketimbang status bekas atau tidak,” bebernya.
Namun sayangnya, ungkap Insan, Prabowo tidak menjelaskan data-data secara detail.
“Kemungkinan karena sebagai Menteri Pertahanan, data-data yang terlalu detail memang tidak dapat dibuka untuk publik karena menyangkut pertahanan negara," imbuhnya.
Kemudian Capres Nomor Urut 3 Ganjar Pranowo dengan narasi populisnya, sambung Insan, kerap menekankan pentingnya investasi dan pembukaan lapangan pekerjaan.
“Selain itu dia (Ganjar) membuka sejumlah data detail soal pertahanan yang kemungkinan diperoleh dari tim di belakangnya. Namun, sayang sejumlah terminologi yang disebut Ganjar seperti dekolonisasi, duta besar siber, cenderung terbatas pada penyebutan tanpa memahami substansi, kita tahu bahwa serangan siber tidak perlu diplomat namun divisi yang bisa menangkal,” ungkap Insan.
Menurut dia, diplomat itu esensinya adalah juru runding antara otoritas negara ke negara sedangkan serangan siber sifatnya hanyalah instrumen teror yang dipakai oleh aktor negara maupun non-negara.
Selain itu, menurutnya, Ganjar juga blunder dalam menjawab hubungan negara Selatan-Selatan, dengan jawaban meningkatkan penghasilan Indonesia dari eksploitasi sumber daya alam seperti nikel dan bauksit.
“Jawaban ini tentunya selain menekankan pada eksploitasi sumber daya alam tanpa nilai tambah, namun juga tidak ada hubungannya dengan kerja sama negara-negara Selatan," pungkas Insan.
Gaya KomunikasiSecara terpisah, dosen komunikasi politik Universitas Paramadina, Erik Ardiyanto mengatakan Anies Baswedan tampil dengan gaya komunikasi agresif yang fokus pada serangan dan kritik.
"Di awal pembuka, Anies Baswedan langsung menyerang besaran anggaran Kementerian Pertahanan senilai Rp700 triliun yang menurutnya tidak memberikan dampak signifikan terhadap sistem pertahanan. Dia juga mengkritik pembelian alutsista bekas dengan sistem tender yang menggunakan orang dalam,” ujar Erik.
Sambung Erik, bahkan Anies membandingkan banyaknya tentara yang tidak punya rumah dengan besaran lahan ratusan hektare yang dimiliki oleh Prabowo.
“Lalu, secara agresif dia juga mengkritik program food estate gagal yang dinilainya tidak banyak memberikan manfaat bagi petani. Bahkan, ketika diminta untuk menilai kinerja Kementerian Pertahanan, dia memberi nilai 11 dari 100," ungkap Erik.
Dia menambahkan, Prabowo Subianto tampil dengan gaya komunikasi normatif dan agresif. Hal Ini terlihat ketika dia berbicara terkait sektor pertahanan yang menginginkan Indonesia kembali kepada tujuan dasar negara yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia termasuk dalam mencegah terorisme.
Kemudian mengatakan ingin mengembangkan sistem persenjataan (alutsista) serta mempertahankan politik luar negeri yang bebas aktif dengan melibatkan diaspora Indonesia di luar negeri.
"Saat sesi tanya jawab dengan calon lain berlangsung. Dalam beberapa kesempatan, Prabowo tidak menjawab pertanyaan, tetapi malah menawarkan diskusi di luar forum debat dengan beralasan waktu terlalu singkat. Mestinya jawaban seperti ini tidak muncul, karena menimbulkan kesan ke publik dia tidak mampu menjawab persoalan yang ada,” ungkapnya lagi
“Kenapa demikian? Karena posisinya hari ini dia sebagai petahana harusnya bisa menjawab dan menunjukan data terkait apa yang sudah dilakukan selama menjabat sebagai menteri pertahanan," tambahnya.
Sedangkan Ganjar Pranowo, kata Erik, tampil dengan gaya komunikasi asertif, dengan menitikberatkan pada kebutuhan, keinginan, dan harapan. Hal ini terlihat, ketika Ganjar mengatakan kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif juga perlu di-redefinisikan ulang dengan semangat zaman yang memfokuskan keinginan dan memperkuat bangsa.
Menurut Ganjar kepentingan nasional hari ini adalah menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia dan investasi harus diperbanyak dengan cara memperkuat sistem infrastruktur diplomasi peran diplomat dan duta besar.
"Kemudian di
closing statement, Ganjar mengungkapkan harapannya untuk membentuk duta besar cyber dan duta besar krisis iklim. Ini penting karena dunia cyber hari ini adalah satu bentuk entitas kedaulatan digital sedangkan krisis iklim merupakan isu krusial yang harus segera ditanggulangi negara," pungkas Erik.
BERITA TERKAIT: