Pandangan itu, setidaknya terekam dalam hasil survei terbaru Charta Politika. Pada survei itu, elektabilitas Prabowo Subianto, turun di peringkat dua setelah mengumumkan Gibran sebagai cawapres dan mendaftar ke KPU RI.
Tepatnya, elektabilitas teratas Ganjar Pranowo-Mahfud MD di angka 36,8 persen, disusul Prabowo Subianto-Gibran (34,7 persen), dan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (24,3 persen). Adapun jumlah responden yang tidak menjawab sebanyak 4,3 persen.
Dalam analisa pengamat politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Airlangga Pribadi menilai, penurunan elektabilitas Prabowo-Gibran merupakan konsekuensi dari semakin tingginya kesadaran publik terhadap politik.
Terlebih, kata dia, sebelum Gibran diumumkan menjadi cawapres, ada putusan MK yang membuat dia yang belum berusia 40 tahun, tetapi bisa maju di Pilpres 2024, karena sedang menjabat Wali Kota Solo.
Kekhawatiran adanya dinasti politik, katanya, menjadi andil mengapa kemudian Gibran disebut beban elektoral yang justru menggerus elektabilitas Prabowo.
"Survei Charta Politika memperlihatkan tampilnya Gibran mendampingi Prabowo justru membebani Prabowo. Alih-alih ikut memperkuat suara, malah merosot," kata Airlangga kepada wartawan, Rabu (8/11).
Doktor alumnus Murdoch University, Australia tersebut mengatakan, persepsi adanya intervensi kekuasaan di MK membuat pandangan publik bergeser. Terutama, bagi para pendukung Presiden Jokowi, dan tidak serta merta memperkuat pencawapresan Gibran.
"Justru yang terjadi adalah penguatan tentang tampilnya Gibran sebagai simbol representasi politik dinasti Jokowi yang berusaha melanggengkan kekuasaan," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: