Hal tersebut disampaikan Guntur dalam sidang Pembacaan Putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, di Ruang Sidang Utama Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (16/10).
Guntur menjelaskan, dalil permohonan Pemohon pada pokoknya meminta syarat pengecualian ke MK, agar membolehkan seseorang yang terpilih dari hasil pemilihan umum (pemilu) atau pemilihan kepala daerah (pilkada) mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres.
"Apakah penambahan syarat alternatif in casu atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, pada norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 bertentangan atau tidak dengan UUD 1945? Berkenaan dengan dalil permohonan a quo, Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut," ujar Guntur.
Dia menjelaskan, dalil permohonan Almas yang menyebut Pasal 169 huruf q UU Pemilu inkonstitusional beralasan menurut hukum. Sebabnya, syarat batas usia minimum capres-cawapres tidak diatur secara tegas dalam UUD 1945.
"Namun dengan melihat praktik di beberapa negara, memungkinkan presiden dan wakil presiden atau kepala negara/pemerintahan dipercayakan kepada sosok yang berusia di bawah 40 tahun, serta berdasarkan pengalaman pengaturan baik di masa pemerintahan risk 30 tahun maupun di masa reformasi in casu UU 48/2008 telah pernah mengatur batas usia presiden dan wakil presiden minimal 35 tahun," paparnya.
Guntur menyatakan, MK berdasarkan batas penalaran yang wajar memberi pemaknaan terhadap batas usia tidak hanya secara tunggal, namun seyogyanya mengakomodir syarat lain yang disetarakan dengan usia, yang dapat menunjukkan kelayakan dan kapasitas seseorang untuk dapat turut serta ikut dalam kontestasi presiden dan wakil presiden.
"Dalam rangka meningkatkan kualitas demokrasi, karena membuka peluang kepada putra-putri bangsa untuk lebih dini berkontestasi dalam pencalonan in casu sebagai presiden atau wakil presiden," ucapnya.
Dalam permohonan perkara ini, Almas memberikan contoh kasus pihak yang potensi dirugikan dalam pemberlakuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu adalah Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka, yang juga putra sulung Presiden Joko Widodo, yang intinya dinilai sebagai sosok yang sukses menjadi kepala daerah dan punya pengalaman mengemban kepemimpinan eksekutif di tingkat daerah atas kepercayaan yang diberikan rakyat melalui pilkada.
"Jika syarat presiden dan wakil presiden tidak diletakkan dalam syarat usia, namun diletakkan pada syarat pengalaman pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, sehingga tokoh atau figur tersebut dapat saja dikatakan telah memenuhi syarat derajat minimal kematangan dan pengalaman, karena terbukti pernah mendapatkan kepercayaan dari rakyat, publik atau kepercayaan negara," tuturnya.
Bahkan, Guntur menyatakan apabila frasa pengecualian bagi jabatan kepala daerah ikut pilpres dicantumkan secara tegas dalam putusan Mahkamah Konstitusi perkara ini, dipastikan tidak merugikan kandidasi capres atau cawapres yang berusia 40 tahun ke atas.
"Bahkan, pembatasan usia minimal capres dan cawapres 40 tahun, semata masih menurut Mahkamah merupakan wujud perlakuan yang tidak profesional dan proporsional, sehingga bermuara pada terkuaknya ketidakadilan yang intolerable," katanya.
"Keadilan intolerable sebagaimana dimaksud karena pembatasan usia itu tidak hanya merugikan dan bahkan menghilangkan kesempatan bagi figur generasi muda yang terbukti pernah terpilih dalam pemilu," demikian Guntur menambahkan.
Dalam perkara ini, Ketua MK Anwar Usman menyatakan putusan MK mengabulkan sebagian permohonan Pemohon, karena dalil Almas yang menyebut Pasal 169 huruf q UU Pemilu beralasan menurut hukum.
Sehingga dengan begitu, adik ipar Presiden Joko Widodo itu memastikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi: "berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah".
"Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya," demikian Anwar membacakan amar putusan MK terhadap perkara ini.
BERITA TERKAIT: