Anggota KPU RI, Idham Holik beralasan, putusan MA atas perkara nomor 28 P/HUM/2023 tersebut masih menunggu sikap partai politik (parpol) yang ada di parlemen, yakni berupa pengajuan fatwa MA.
"Saat ini memang partai politik juga informasinya sedang mengajukan fatwa ke MA," ujar Idham saat ditemui usai acara Rapat Konsultasi dengan pakar hukum tata negara dan hukum administrasi negara (HTN-HAN), di Hotel Gran Melia, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Senin (2/10).
Idham tidak bisa memastikan kapan tindak lanjut putusan MA bisa dilaksanakan KPU. Alih-alih, dia malah berkelit dengan mengaku belum menerima dokumen putusan MA hingga hari ini, meski salinan putusan sudah bisa diakses publik sejak Sabtu pekan lalu (30/9).
"Untuk putusan Mahkamah Agung nomor 28 P/HUM/2023 itu salinan hard copy-nya belum (diterima KPU), tapi tentunya kami memahami betul bahwa putusan MA bersifat
erga omnes atau final dan mengikat, dan kami akan segera tindak lanjuti," ucapnya.
Namun, ketika ditanya bentuk tindak lanjut terhadap putusan MA tersebut, Idham yang menjabat Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU RI, tidak bisa menjawab secara pasti.
"Yang jelas kami akan sampaikan kepada partai politik untuk melaksanakan putusan Mahkamah Agung," tandas Idham.
Pada intinya, putusan MA mengamini dalil gugatan para Pemohon yang menganggap aturan KPU menunjukkan kurangnya komitmen dan semangat pemberantasan korupsi, karena mengabaikan masa jeda waktu lima tahun bagi mantan narapidana korupsi yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, kalau dalam vonis mereka memuat pidana tambahan pencabutan hak politik.
Apabila seorang napi kasus korupsi yang mendapat vonis pencabutan hak politik selama setahun misalnya, maka pada tahun kedua ia langsung bisa mencalonkan diri sebagai anggota legislatif tanpa menunggu masa jeda lima tahun setelah lepas dari hukuman penjara yang diatur UU Pemilu dan ditegaskan di putusan MK.
Putusan MA atas perkara nomor 28 P/HUM/2023 itu diajukan Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), hingga bekas pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni Abraham Samad dan Saut Situmorang.
BERITA TERKAIT: