Jaringan Kemandirian Nasional (Jaman).
Sebelum kedua gugatan tersebut dilayangkan, Uni Eropa sudah lebih dahulu menggugat Indonesia terkait larangan ekspor bijih nikel mentah pada 2019. Pada 2022, WTO memenangkan gugatan Uni Eropa tetapi Indonesia masih mengajukan banding terkait nikel ini.
"Kita tahu bahwa negara maju selalu menghalangi negara berkembang seperti Indonesia untuk menikmati kekayaan hasil buminya sendiri," kata Sekjen DPP Jaman, Hadi Mustafa, melalui keterangannya, Sabtu (25/2).
"Ketidakadilan sistem perdagangan dunia selalu memihak negara maju, sehingga negara berkembang terpaksa terkunci di negara dunia ketiga. Tak pernah lepas dari jeratan
middle income trap," sambungnya.
Sekarang, lanjut Hadi, Pemerintah Indonesia menggugat balik Uni Eropa terkait antidumping produk pelat baja putih (cold-rolled stainless steel/CRS).
Langkah ini diambil oleh setelah Uni Eropa menerapkan tambahan bea impor sebesar 21 persen bagi CRS asal Indonesia pada 2022. Karena aturan ini lebih tinggi dari rentang bea impor antidumping yang berkisar 10,2–20,2 peren pada November 2021.
Menurut Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves, Septian Hario Seto, saat Uni Eropa pertama kali mengimplementasikan bea antidumping, pengiriman Indonesia ke benua tersebut turun menjadi sekitar 229 juta dolar AS pada 2021.
Adapun terkait kelapa sawit, Indonesia masih menunggu hasil putusan WTO atas kebijakan diskriminasi sawit yang diterapkan Uni Eropa.
Indonesia menggugat Uni Eropa terkait diskriminasi sawit melalui aturan Renewable Energy Directive II (RED II) karena telah menetapkan kelapa sawit sebagai tanaman berisiko tinggi terhadap deforestasi atau kerusakan hutan.
Uni Eropa akan membatasi dan secara bertahap bakal menghapuskan penggunaan minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) untuk biodiesel karena dianggap berkaitan dengan deforestasi.
BERITA TERKAIT: