Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (Laksamana), Samuel F. Silaen, dalam keterangannya kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (29/12).
Samuel menuturkan, reshuffle merupakan hak prerogatif presiden untuk melakukannya. Namun, akan menjadi masalah jika ada unsur politik individu dalam pelaksanaan kebijakan ini.
"Yang tak boleh Presiden (Jokowi) lakukan ialah memaksa, ketika seorang yang diinginkan presiden untuk membantunya lalu tidak bersedia maka tidak boleh ada pemaksaan," ujar Samuel.
Ia menilai, dalam kondisi sekarang ini Presiden Jokowi akan kesulitan dalam melakukan reshuffle. Namun, karena wacana rencana perombakan sudah mengemuka ke publik, maka disarankan agar tetap dilakukan.
"Keputusan politik presiden Jokowi untuk mereshuffle kabinetnya tentu saja punya indikator yang tidak perlu disampaikan ke publik agar tidak menimbulkan fitnah dan gonjang-ganjing. Sebab sesungguhnya urusan kabinet itu menjadi domainnya yang diatur dalam konstitusi," tuturnya.
Akan tetapi, Samuel menyarankan agar reshuffle bisa dilakukan secara terbuka oleh Jokowi, dalam arti memberikan kesempatan kepada tokoh-tokoh masyarakat untuk mendaftar menjadi menteri presiden.
"Sebaiknya yang terjadi adalah banyak orang yang berlomba menyodorkan dirinya atau orang yang dianggap mumpuni menjadi pembantu presiden," demikian Samuel.
BERITA TERKAIT: