Bagaimana tidak, Presiden dan Wakil Presiden merupakan jabatan publik yang berhak untuk mendapatkan kritik publik.
Begitu disampaikan Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar saat berbincang dengan
Kantor Berita Politik RMOL beberapa saat lalu di Jakarta, Kamis (29/6).
“Presiden itu jabatan publik dan merupakan institusi. Secara politik demokratik terhadap jabatan politik itulah tempatnya mengajukan usulan kritik bahkan cacian ketidakpuasan. Karena itu, menjadi lucu dan aneh ada pasal yang mempidana perbuatan kepada lembaga,†kata Fickar.
Selain itu, Fickar juga menyebut pasal penghinaan presiden karena dianggap simbol negara dinilai bertentangan dengan prinsip demokrasi yang dianut Indonesia. Dalam sebuah negara demokrasi, kritik merupakan hal yang dijamin konstitusi.
Atas dasar itu, Fickar menilai, adanya pasal penghinaan presiden dalam RKUHP yang telah disahkan oleh DPR RI pada Rapat Paripurna 2019 lalu yang kini tengah digodok itu ironis.
“Bertentangan dengan pilihan kita sebagai negara Demokrasi, rakyat akan banyak ditangkapi karena mengkritik dan melakukan cacian terhadap jabatan publik ini. Ini ironi demokrasi,†pungkasnya.