Dalam diskusi bertema “Indonesia dalam Tekanan Geopolitik Internasional†yang diselenggarakan Perhimpunan Menemukan Kembali Indonesia (PMKI) di gedung Dekopin Jalan Dharmawangsa Raya No. 18, Jakarta Selatan, Rabu petang (27/4), pembicaraan mengenai cengkeraman oligarki ini pun mendominasi.
Aktivis yang hadir dalam diskusi tersebut antara lain Rocky Gerung, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Bursah Zarnubi, Ferry Juliantono, Teguh Santosa, Andrianto, Herdi Sahrasad, Faisal Basri, dan Usman Hamid.
Secara umum mereka memiliki pandangan yang sama, bahwa kegagalan konsolidasi demokrasi Indonesia adalah salah satu akibat dari oligarki, selain ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan hukum serta korupsi yang
rampant dan
blatant.
Pengamat hubungan internasional Teguh Santosa ketika mendapat giliran berbicara mengatakan, dirinya teringat pada buku yang ditulis Prof. Arief Budiman di era 1990an silam. Buku berjudul “
Negara dan Pembangunan†itu membandingkan proses pembangunan dua negara Asia, Indonesia dan Korea Selatan.
Kedua negara memiliki banyak kesamaan dalam proses pembangunan masing-masing. Korea Selatan memulai proses pembangunan pada 1961 ketika Park Chung Hee berkuasa. Sementara Indonesia di tahun 1968 setelah Soeharto secara
de jure menjadi Presiden menggantikan Sukarno. Keduanya, baik Park Chung Hee dan Soeharto, adalah jenderal dan penguasa militer.
Teori dan pendekatan yang mereka gunakan dalam pembangunan juga sama, yakni
developmentalism yang kerap menganggap bahwa nilai-nilai lokal menghambat kemajuan, dan karenanya mesti diganti dengan nilai-nilai yang direkomendasi oleh pendekatan
developmentalism yang berarti adalah
western values.
Kesamaan berikutnya kedua negara juga menggunakan model negara otoriter birokratis (NOB) dimana birokrasi dan militer menjadi
leading sector pembangunan. Â
Namun, hasil dari NOB yang dipraktikkan di kedua negara berbeda. Kelompok industrialis benar-benar muncul di Korea Selatan sehingga negara itu kini menjadi salah satu negara produsen terpandang di dunia. Perusahaan-perusahaan nasional maupun swasta, bahkan industri hiburan, Korea Selatan pun benar-benar kelas dunia.
Sebaliknya, NOB yang dipraktikkan di Indonesia tidak melahirkan kelompok industriawan yang
genuine, melainkan kelompok oligarki pencari rente yang mendorong berkembangnya tradisi impor dan utang luar negeri.
Menurut Teguh, ini yang menjelaskan mengapa meski kedua negara dihantam krisis moneter di tahun 1997 dan 1998, namun kerusakan yang dialami Korea Selatan tidak separah yang dialami Indonesia. Korea Selatan dapat
recovery dengan kecepatan tinggi dan menjadikan krisis 1997/1998 sebagai momentum untuk semakin memperkuat cengkeraman ekonomi mereka di dunia.
Di Indonesia, krisis moneter itu berubah menjadi krisis ekonomi dan selanjutnya menjadi krisis politik yang menjungkalkan Soeharto. Tapi, konsolidasi demokrasi yang lahir di era post-Soeharto ini terperangkap dalam turbulensi berkepanjangan. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, berhasil membelah masyarakat.
Di arena internasional peran Indonesia pun mengalami stagnasi, kalau tidak mau disebut kemunduran yang serius. Perubahan yang begitu cepat di panggung internasional tidak bisa direspon Indonesia dengan pantas karena di saat yang sama sedang tergopoh-gopoh menghadapi agenda ekonomi dan politik domestik yang merepotkan.
Teguh mengingatkan, doktrin politik luar negeri bebas-aktif yang dibangun oleh
founding fathers berarti Indonesia harus tampil sebagai negara yang berdaulat dalam arti yang sebenarnya.
“Doktrin
rowing between two reefs, mendayung di antara dua karang, itu mendorong Indonesia untuk tidak menjadi bagian dari blok Barat, juga tidak menjadi bagian blok Timur,†ujar Teguh yang juga dosen Hubungan Internasional di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Namun, politik luar negeri bebas-aktif ini sulit dipraktikkan karena Indonesia masih jauh dari kemandirian, dan ajaran tri sakti Bung Karno masih jadi jargon saja.
BERITA TERKAIT: