Sebab menurut Yusril, apa yang dituduhkan elite Demokrat itu justru berbanding terbalik dengan apa yang terjadi.
Yusril lantas menceritakan saat masih menjadi mahasiswa di FISIP Universitas Indonesia. Kala itu, iia pernah menjadi asisten Prof Osman Raliby mengajar mata kuliah Propaganda Politik dan Perang Urat Syaraf. Osman memberinya buku-buku Adolf Hitler dan Jozef Goebbels dalam bahasa Jerman seperti
Mein Kampf dan
Des Fuhrers Kampf um den Weltfrieden untuk ditelaah.
Karena Yusril mahasiswa filsafat, pemikiran Hitler dalam
Mein Kampf itu dikritik habis di hadapan Osman Raliby. Prof Osman adalah tokoh Masyumi yang pernah berguru dengan Goebbels saat kuliah di Berlin menjelang Perang Dunia II itu gembira melihat reaksi Yusril.
Karena itu, Yusril tertawa ketika Benny Harman menyebut cara berpikir totaliter dalam menguji anggaran dasar Partai Demokrat. Apalagi, Yusril mengingat Benny Harman mengikuti kuliah filsafat hukum dan teori ilmu hukum yang ia ajar.
Saat di kampus, pemikiran filsafat hukum Yusril malah dianggap terlalu Islam, tidak mengesankan penganut paham totaliter
nationale sosialismus atau Nazi.
“Di zaman Orba, Panglima Kopkamtib Laksamana Sudomo menyebut saya ekstrem kanan. Pemerintah Amerika Serikat sampai sekarang menganggap saya Islam radikal. Makanya saya tidak pernah dikasih visa untuk masuk ke AS," jelas Yusril.
Oleh karenanya, ia merasa heran dituding sebagai pengikut Hitler hanya karena membela empat kader Demokrat yang dipecat.
“Dua minggu lalu saya dijuluki pengacara Rp 100 miliar. Sekarang saya dijuluki lagi sebagai Nazi pengikut Hitler. Masih untung saya enggak dijuluki PKI," tutupnya sembari tertawa.
BERITA TERKAIT: