Proses kenaikannya pun dilakukan secara tiba-tiba dengan meneken Peraturan Presiden (Perpres) 64/2020 dan tanpa pengumuman terlebih dahulu.
Merespons kebijakan itu, pengamat hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Muhtar Said menilai Presiden Jokowi tidak menghormati Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Mahkamah Agung.
Menurut Said, kebijakan pemerintah yang terkait erat dengan hajat hidup orang banyak harus dikonsultasikan melalui rapat dengar pendapat dengan DPR. Apalagi, kebijakan kenaikan sebelumnya sudah dibatalkan oleh MA.
"Segala kebijakan yang berkaitan dengan hajar hidup orang banyak harus terlebih dulu dikonsultasikan melalui rapat dengar pendapat kepada DPR. Apalagi BPJS sudah diputus MA dibatalkan, selain itu Dalam rapat dengan DPR, rekomendasi DPR untuk tidak manaikan BPJS artinya," demikian kata Muhtar Said kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (13/5).
Lebih lanjut, Magister Hukum Universitas Diponegoro ini menjelaskan, pemerintah terang tidak menerapkan asas negara kesejahteraan. Pada satu sisi meminta masyarakat berdiam di rumah namun di sisi yang lain justru memberikan tambahan beban.
"Sejak dulu, masyarakat disuruh tidak keluar rumah namun pemerintah terus memberikan beban kepada rakyatnya. Jelas tidak sesuai prinsip welfere state, namun represif," demikian kata Said.
Adapun terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang akan berlaku untuk pemegang premi angsuran kelas I dan kelas II ada tertuang dalam Pasal 34.
"Iuran kelas I yaitu sebesar Rp 150 ribu per orang per bulan dibayar oleh peserta PBPU dan peserta BP atau pihak lain atas nama peserta. Iuran Kelas II yaitu sebesar Rp 100 ribu per orang per bulan dibayar oleh peserta PBPU dan peserta BP atau pihak lain atas nama peserta," begitu bunyi pasal tersebut.
Adapun dalam pasal ini juga diatur mengenai iuran BPJS Kesehatan untuk kelas III. Di mana nilai angsurannya masih belum naik, atau masih sebesar Rp 25.500.
Tapi pada tahun 2021 angsuran kelas III ini naik menjadi Rp 35 ribu.
BERITA TERKAIT: