Untuk membahas ini, Wali Nanggroe Malik Mahmud Al-Haytar menemui Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Menurut Staf Khusus Wali Nanggroe, Kamaruddin Abubakar, dalam pertemuan itu, keduanya membahas beberapa poin krusial dan mendesak yang belum tersentuh.
"Bidang ekonomi misalnya, pemerintah pusat harus menyerahkan pengelolaan pelabuhan laut dan bandar udara kepada Aceh. Begitu juga masalah perdagangan dan bisnis internasional yang masih terkendala peraturan dan UU Nasional," kata Kamaruddin Abubakar pada
Kantor Berita Politik RMOL di Banda Aceh, Rabu (13/11).
Kamaruddin menambahkan, permasalahan lain yang dilaporkan pada Menhan adalah soal perbatasan Aceh dengan Sumatera Utara sampai hari ini belum merujuk pada tapal batas atau Peta bertanggal 1 Juli 1956, sebagaimana diamanahkan dalam poin 1.1.4 MoU Helsinki.
“Masalah lain adalah terkait perbatasan Aceh dengan Sumatera Utara, dan masalah Pembentukan Badan
Adhoc serta persoalan re-intergrasi juga belum dituntaskan oleh pemerintah pusat," imbuhnya.
Lebih lanjut Kamaruddin menuturkan, pertemuan Wali Nanggroe dengan Menhan kali ini merupakan tindak lanjut pertemuan Wali Nanggroe dengan mantan Wapres Jusuf Kalla.
“Prabowo sendiri menyampaikan respon positif terkait pertemuannya dengan Wali Nanggroe. Masalah-masalah yang ada di Aceh seharusnya sudah selesai sejak lama," kata Kamaruddin meniru ucapan Prabowo.
Pertemuan itu berlangsung pada Selasa 12 November 2019, di Ruang Kerja Kementerian Pertahanan RI, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Delegasi yang dipimpin Wali Nanggroe juga didampingi anggota DPR dari Aceh, Dahlan Jamaluddin, dan Staf Khusus Raviq. Sementara Prabowo didampingi juru bicara, Dahnil Simanjuntak.
BERITA TERKAIT: