Karena itu, Sekjen Forum Indonesia untuk Trasnparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan menyarankan agar pembahasan mengenai pemindahan ibukota negara itu sebaiknya dibuka secara transparan.
"Banyak yang tidak rasional dalam rencana pemindahan ibukota negara itu,†tutur Misbah Hasan, di Jakarta.
Dia menyatakan, jika mencermati Rapat Kabinet Kerja dengan Presiden Jokowi pada Senin (29/4) lalu, ada sejumlah poin yang harus dikaji dan dibuka ke masyarakat.
"Wacana ini sudah dibahas dan dikaji sejak lama oleh kabinet-kabinet presiden sebelum-sebelumnya, tetapi hasil kajian tidak serius, tidak pernah dipublikasikan secara luas. Jadi, terkesan main-main dan tidak transparan," kata Misbah.
Menurut dia, yang perlu juga dicermati wacana pemindahan ini justru dapat memecah konsentasi pemerintah dalam membahas isu-isu yang lebih krusial, misalnya pembangunan ekonomi inklusif, penanggulangan kemiskinan, pemerataan, perlindungan sosial bagi masyarakat miskin, dan seterusnya.
Anggaran memindah ibukota yang ditaksir mencapai Rp 446 triliun pasti akan mempersempit ruang fiskal pemerintah.
“Dan biasanya pemerintah ambil jalan pintas dengan pendanaan melalui utang. Ini ygang mesti dikritisi, mengingat beban utang akan semakin berat. Bunga utang Indonesia saja sudah 17 persen lebih dari total belanja APBN,†ujarnya mengingatkan.
Bahkan, lanjut dia, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, APBN menunjukkan tren defisit. Sehingga akan tidak sehat jika APBN dikuras untuk membiayai pemindahan ibukota negara.
"Apalagi hanya digunakan untuk pembiayaan pengadaan infrastruktur awal, seperti kantor pemerintahan dan parlemen, dan lain-lainnya,†ujarnya.
Dalam catatan hasil analisis Fitra, Misbah merinci, defisit APBN tahun 2014 sebesar Rp 220,2 triliun, naik menjadi Rp 325,2 triliun di tahun 2015, tahun 2016 mencapai Rp 321,9 triliun. Kemudian melonjak tahun 2017 defisit sebesar Rp 349,6 triliun dan Rp 287,9 triliun di tahun 2018.
Terkait dengan utang, kajian Fitra menunjukkan jauh lebih besar BUMN dibanding dengan utang pemerintah.
Utang BUMN per tahun 2017 mencapai Rp 4.825 triliun. Angka ini mengalami peningkatan sebesar 38 persen dibanding tahun 2014 yang mencapai Rp 3.488 triliun.
"Selama proyek-proyek yang diselenggarakan BUMN, rasio pembiayaan 30 persen dari ekuitas dan 70% dari pinjaman," jelas Misbah.
Lagi pula, menurut Misbah, untuk melakukan pemerataan pembangunan tidak harus memindahkan ibukota negara.
"Pemerataan pembangunan itu mestinya menerapkan konsep pembangunan dan pertumbuhan inklusif, terutama di wilayah timur Indonesia,†katanya.