Pasalnya, hal tersebut adalah salah satu tuntutan reformasi "adili Soeharto dan kroninya" yang dituangkan dalam Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 dan belum pernah dicabut.
Demikian disampaikan aktivis Antikorupsi, Saor Siagian dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan tema "Pencemaran Nama Baik vs Menolak Lupa" yang digelar di kampus UKI, Jakarta, Jumat (14/2). Hadir pembicara lai Ketua Setara Institute Hendardi dan dosen FH UKI, Petrus Irwan Panjaitan.
"Menurut saya apa yang disampaikan Ahmad Basarah bukanlah pencemaran nama baik. Memang menjadi kewajiban Ahmad Basarah sebagai pimpinan MPR RI untuk menyampaikan hal tersebut," kata Saor.
Sementara Hendardi mengatakan, pengusutan kasus-kasus korupsi Soeharto, keluarga dan kroninya tidak boleh terhenti karena mantan penguasa orde baru sudah meninggal dunia. Sebab, Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 yang menjadi dasar pengusutan, juga berlaku untuk keluarga dan kroninya.
"Masak karena Soeharto meninggal, hak-hak korban (korupsi Soeharto) diabaikan. Jadi kroni-kroni Soeharto agar diusut untuk tetap diadili," ujar Hendardi.
Pasal 4 Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 menyatakan, "Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak, asasi manusia".
"Kroninya Soeharto masih banyak, Harmoko tuh masih tidur, senang-senang. Masih banyak tidak disentuh hukum," imbuh Hendardi.
Lebih lanjut, Hendardi justru mengajak publik untuk berterima kasih kepada Basarah, politisi PDI Perjuangan itu karena telah mengingatkan memori kolektif bangsa atas kejahatan korupsi Soeharto, keluarga dan kroninya.
Sementara Petrus Panjaitan menambahkan, hasil FGD akan dijadikan semacam pendapat hukum resmi dari Ikatan Alumni UKI sebagai penyelenggara. Dan akan diberikan ke pemangku kepentingan untuk dikaji lebih lanjut.
[rus]
BERITA TERKAIT: