They resepect nothing. No priest, no ulama, no scriptures. Hanya ada diri mereka dan syahwat.
Mereka penerus
The Age of Reason (Enlightenment). Mereka lahir tahun 1620an. Ketika Les Philosophes sering ngumpul di
Masonic lodges, scientific academies, coffee houses, dan
literary salons. Sambil minum vodka, Mereka cetak buku dan pamphlet agitasi. Menghajar kaum agama dan orthodoxy.
Orbit otak liberal klasik seputar
liberty, tolerance, progress dan
fraternity.
Di
economic scale, pada titik extrim kanan, ada anarcho-syndicalist. Di tengah, mereka akui butuh
limited government. Sedikit ke kiri, mereka bermetamorfosis menjadi social-liberalist. Di kiri extrim, mereka berubah menjadi komunisme.
Liberals tajir menuhankan uang. Awalnya, mereka adopsi sistem "Laissez-faire". Anti intervensi pemerintahan. Nggak boleh ada subsidi, tarif, regulasi dan
privileges. Birokrasi adalah penyakit. Mereka sebut ini "libertarian capitalism" atau
free market.
Ketika liberals ngga mampu kontrol
disgruntled mass, mereka ciptakan authoritarian system. Hitler, Mao, Stalin, Polpot,
to name a few.
Di Indonesia, liberals memilih sebuah kompromi. Mereka nggak ingin
totalitarian regime. Tapi mereka butuh
limited "Coercive Power†menghajar ulama seperti Habieb Rizieq.
Salah satu ciri semua types liberals adalah universal dislike terhadap "Tirani Mayoritas". Karena itu, mereka butuh
active role of government sebagai
agent coersive. Just like Keynesian.
Di skala micro, Sujiwo Tejo merupakan contoh paling vulgar dari kelakuan seorang liberal.
Pakai topi coboy dan jacket jeans, tapi mendorong extrim javanesse ethno-nationalism dengan membangun delusi "penjajahan Arab". Liberal arts membenturkan tradisi dan local wisdom dengan agama.
Thus, rapopo ngaji dengan langgam Jawa.
[***]Penulis adalah aktivis Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (Komtak)