Pencabutan status badan hukum HTI, memang mengakibatkan HTI secara resmi sebagai organisasi telah bubar. Akan tetapi, meskipun di permukaan HTI telah berhenti melakukan aktivitasnya, ternyata di bawah permukaan gairah dan
girah yang dibangunnya masih menyimpan tenaga.
Tulisan ini berusaha untuk menjelaskan secara singkat konsep negara dalam Islam, baik dalam perspektif doktrin maupun historis. Dengan harapan agar kita bisa menempatkan model ideal negara yang dicita-citakan oleh Islam secara rasional dan objektif.
Jika merujuk pada Al-Qur'an, kata
khilafah berasal dari akar kata خل٠(baca
khalafa) yang lazim disebut masdar dalam bahasa Arab. Turunan kata ini banyak sekali ditemukan di dalam Al-Qur'an, akan tetapi bila dikelompokkan, maka maknanya hanya dua: pemimpin dan pengganti/penerus.
Dalam berbagai tafsir makna pertama dikaitkan dengan tujuan penciptaan manusia sebagai mahluk Allah untuk menjadi pemimpin di muka bumi (Al-Baqarah 30), sedangkan yang bermakna pengganti terdapat pada misalnya pada Al-A'raf (69, 74, 169).
Makna pengganti/penerus menjadi penuh arti, saat Abu Bakar Assidiq menjadi Khalifah pertama, menggantikan atau meneruskan kedudukan Rasulullah sebagai pemimpin umat Islam. Itu sebabnya, ketika Umar bin Khatab menggantikan Abu Bakar, lebih suka dipanggil
Amirul Mu'minin yang berarti pemimpin kaum beriman.
Selanjutnya, salah satu turunan kata
khalafa yang banyak digunakan adalah
Khalifahurasyidin (makna harfiahnya
khalifah yang lurus) untuk menyebut empat orang pemimpin ummat Islam sesudah Nabi (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali).
Karena itu, jika dipaksakan penggunaan istilah
khilafah untuk merujuk model kepemimpin yang paling ideal dalam masyarakat Islam, paling sahih diarahkan ke sini.
Menariknya, empat orang "khalifah" ini dipilih dengan cara berbeda. Akan tetapi memiliki kesamaan secara substansi, bahwa mereka dipilih secara demokratis dalam sebuah majelis yang disebut
syura. Bahkan
syura (musyawarah) yang berpijak pada Syurah Ali Imran 159 dan As-Syura 38, dalam praktiknya di sini tidak selalu mufakat, ada yang melalui proses voting.
Setelah periode
khalifahurasyidin, walaupun istilah yang digunakan untuk menyebut seorang berfariasi seperti: sultan, emir/amir, khalifah, atau malik seperti yang digunakan oleh Saudi Arabia sampai sekarang, substansinya adalah kerajaan, dimana jabatan raja diwariskan secara turun-temurun, yang tentu sangat jauh dari nilai-nilai Islam. Apalagi menurut catatan sejarah, tidak sedikit diantaranya yang mempraktikkan otoritarianisme, hedonisme, bahkan politik yang menghalalkan segala cara, serta berbagai praktik buruk dalam pengelolaan negara.
Itulah sebabnya sebagian besar ilmuwan politik Islam, bila mengambil rujukan model pemerintahan ideal dalam Islam, merujuk pada era
khalifahurasyidin.
Khalifahurasyidin meninggalkan nilai-nilai universal dalam masalah pemimpin/kepemimpinan dan dalam pengelolaan negara, diantaranya; seorang pemimpin dipilih berdasarkan kapasitas, dedikasi, prestasi, pengorbanan, dan kesalehannya. Jadi asas egaliter dan prinsip meritokrasi betul-betul mewarnai proses rekrutmen seorang pemimpin. Dengan kata lain rekrutmen berdasarkan hubungan darah atau keturunan sama sekali tidak dikenal.
Bentuk negara tidak diatur, yang kalau menggunakan istilah modern, apakah republik atau kerajaan, negara kesatuan atau federal, sistem presidensiel atau parlementer, oleh para ilmuwan politik Islam dimaknai sebagai mengikuti ruang dan waktu sepanjang mengikuti nilai-nilai universal di atas.
Cara pandang seperti inilah yang mewarnai dialog antara dua tokoh Indonesia yang hidup pada zaman yang berbeda yang kemudian dibukukan dengan judul: "Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem".
Jika tidak ada 'Negara Islam', lalu bagaimana negara yang Islami ? Disinilah sumber masalah yang sebenarnya, di satu sisi jika kita merujuk pada kondisi masyarakat saat
Khalifahurasyidin hidup, jauh berbeda dengan saat ini. Di sisi lain eksperimen model negara yang dipraktikan oleh
Khalifahurasyidin terputus dalam rentang waktu yang panjang.
Akibatnya sejak pasca Perang Dunia II, setelah umat Islam terbebas dari penjajahan, harus mulai dari nol. Paling tidak muncul model Turki, Pakistan, dan Indonesia. Sampai sekarang model-model ini terus disempurnakan, baik dengan alasan perbaikan, maupun karena tuntutan situasi yang berubah.
Bila dilihat dari stabilitas politik, Indonesia dan Turki jauh lebih maju dibanding Pakistan. Sedangkan bila dilihat dari konstitusinya sebagai landasan yuridis formal sebuah negara, maka Indonesia jauh lebih maju dibanding Turki, mengingat sampai sekarang konstitusi Turki masih menggunakan konstitusi sekuler warisan Ataturk yang mengharamkan membawa Tuhan pada urusan negara.
Apalagi secara substansi maupun proses penyusunannya, Pancasila mirip dengan Piagam Madinah yang disusun oleh Rasulullah bersama kepala-kepala suku dan tokoh-tokoh agama. Piagam Madinah kemudian menjadi landasan yuridis formal dalam mengelola Negara Madinah yang dipimpin oleh Rasulullah.
John L. Esposito, Tamara Sonn, dan John O Voll dalam
Islam and Democracy after the Arab Spring bahkan menyebut Piagam Madinah bukan saja menghormati perbedaan agama dan suku, akan tetapi juga memberikan ruang bagi oposisi. Itulah sebabnya Piagam Madinah ditempatkan sebagai sebuah model konstitusi negara modern pertama di dunia oleh Robert N Bellah dalam bukunya
Beyond Belief.
Ada juga ilmuwan politik yang menyebut bahwa Pancasila merupakan konstitusi yang dibangun di atas prinsip demokrasi dengan memasukkan nilai-nilai agama dan dibingkai oleh budaya bangsa. Bung Karno mencoba menggunakan bahasa universal, saat menjelaskannya kepada dunia internasional, melalui pidatonya di PBB, dengan menyebut Pancasila sebagai 5 principles (fondasi):
Belief in God (Ketuhanan),
nationalism (nasionalisme),
humanity (kemanusiaan),
democracy (demokrasi), dan
social justice (keadilan sosial).
[***]Penulis adalah Direktur Eksekutif Center for Dialogue and Cooperation among Civilization (CDCC).