Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Jokowi Tak Bisa Ekspres Pilih Cawapres?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/said-salahudin-5'>SAID SALAHUDIN</a>
OLEH: SAID SALAHUDIN
  • Senin, 23 Juli 2018, 20:24 WIB
Jokowi Tak Bisa Ekspres Pilih Cawapres?
Foto/Net
JOKO Widodo atau Jokowi sebetulnya punya kesempatan untuk mendahului Prabowo Subianto dalam menentukan calon wakil presiden (cawapres). Kesempatan itu bukan baru muncul sekarang, tetapi sudah terbuka sejak lama.

Setidaknya ada tiga kondisi yang mendukung Jokowi untuk bisa lebih cepat menggandeng pasangannya.

Pertama, karena posisinya sebagai petahana. Sebagai calon Presiden (capres) yang sedang berkuasa, Jokowi berada pada posisi yang lebih diuntungkan daripada Prabowo.

Di saat mantan rivalnya itu masih bersusah payah mendekati parpol lain untuk dirangkul, sambil ongkang-ongkang Jokowi justru sudah bisa menarik banyak parpol lain berkumpul.

Artinya, ketika Prabowo masih memikirkan posisi capres, kala itu Jokowi sebetulnya sudah bisa menentukan posisi cawapresnya. Sebab, syarat pengusulan capres-cawapresnya sudah beres.

Kedua, karena tidak ada kerewelan dari parpol pendukungnya. Semua parpol pendukung capres pastilah ingin kadernya dijadikan sebagai cawapres. Tetapi Jokowi lebih beruntung dari Prabowo dalam hal mengelola keinginan parpol pendukungnya.

Sejak jauh hari Golkar, PPP, Nasdem, dan Hanura sudah berikrar akan tetap setia kepada Jokowi sekalipun kader mereka bukan cawapresnya. Sementara PKS, PAN, dan Demokrat terus kukuh pada syarat dukungannya kepada Prabowo.

Sedikit saja Prabowo memberi perhatian pada figur tertentu, sontak parpol-parpol itu bermanuver dengan gagasan poros ketiga atau memunculkan nama baru sebagai capres pengganti Prabowo.

Dengan kondisi yang demikian itu maka Jokowi sebetulnya bisa secara bebas menentukan cawapresnya sejak lama, sebab parpol koalisinya sudah menyatakan akan ikut saja.

Di sinilah bedanya parpol pendukung Jokowi dan parpol calon pendukung Prabowo dari sisi fleksibilitas penentuan cawapres.

Ketiga, karena target koalisi sudah terpenuhi. Walaupun syarat pengusulan capres-cawapres di kubu petahana sebetulnya sudah aman sejak lama, tetapi Jokowi sepertinya merasa belum aman jika PKB belum menyatakan secara resmi bergabung dalam barisan koalisi.

Jadi ada semacam target untuk menggenapkan terlebih dahulu koalisi dengan melibatkan PKB dalam penentuan cawapres Jokowi.

Nah, ketika target koalisi itu sudah terpenuhi, sebetulnya Jokowi sudah bisa langsung mengumumkan siapa cawapresnya.

Kalau kemarin-kemarin Jokowi, katakanlah, belum berani mengumumkan nama cawapresnya karena menunggu kepastian dari PKB yang masih 'kesana-kemari', maka ketika Muhaimin Iskandar sudah resmi menyatakan partainya mendukung petahana, pada saat itu sebetulnya Jokowi sudah kehilangan alasan untuk menunda pengumuman cawapresnya.

Kepastian bergabungnya PKB itu semestinya menjadi akhir dari penantian panjang publik yang menunggu siapa sosok cawapres Jokowi.

Sejumlah kondisi yang memberi peluang lebar kepada Jokowi untuk menentukan cawapres lebih cepat dari kubu 'oposisi' sebagaimana uraian diatas jelas tidak bisa disamakan dengan kubu Prabowo.

Sampai hari ini Prabowo masih terus berputar-putar di lingkaran yang sama untuk membangun koalisi. Alih-alih menetapkan siapa cawapresnya, posisinya sendiri sebagai capres pun masih diombang-ambing oleh sejumlah parpol calon partnernya.

Tetapi itulah konsekuensi bagi kandidat yang hendak melawan petahana. Terlebih lagi ada syarat 'presidential threshold' yang semakin menyulitkan kubu penantang dalam menetapkan pasangan capres-cawapres lebih awal dari calon yang sedang berkuasa.

Tetapi pertanyaannya: mengapa di saat posisi petahana lebih leluasa daripada calon penantangnya, tetapi ia tak kunjung jua menetapkan cawapresnya? Di sini menariknya.

Secara formal, syarat pengusulan capres-cawapres bagi petahana sebetulnya sudah tidak lagi ada masalah. Kursi DPR atau suara hasil Pemilu 2014 dari parpol pendukung Jokowi bahkan sudah jauh melampaui persyaratan.

Dari sisi kelayakan figur calon pendamping Jokowi pun tidak perlu diragukan. Baik empat tokoh yang namanya sudah disebut langsung oleh Presiden maupun nama lain yang beredar, semuanya pada tingkat tertentu boleh disebut pantas menjadi cawapres Jokowi.

Soal kebutuhan logistik untuk bertarung di Pilpres nanti pun tampaknya sudah bukan masalah lagi bagi Jokowi. Para donatur kelas kakap yang mendukungnya di Pilpres 2014 lalu sejauh ini masih loyal dan sepertinya akan tetap royal.

Ketiga modal itu seharusnya sudah lebih dari cukup bagi Jokowi untuk segera mengumumkan cawapresnya. Jadi kalau dengan segudang modal itu nama pendamping Jokowi tak kunjung diumumkan, ini bisa memantik kecurigaan bahwa ada yang "tidak beres" sedang terjadi di koalisi Jokowi saat ini.

"Ketidakberesan" itu saya duga muncul karena saat ini sedang terjadi tarik-menarik kepentingan yang sangat kuat di lingkungan partai koalisi dan di lingkaran elit Jokowi.

Dari lingkungan partai koalisi saya mendengar persaingan diantaranya melibatkan PDIP dan PKB yang masing-masing ingin jagoannya dipilih Jokowi dan disetujui oleh anggota koalisi yang lain.

Nama Susi Pudjiastuti dan Budi Gunawan kabarnya lebih diprioritaskan oleh PDIP, sementara PKB tetap melakukan penetrasi untuk meloloskan ketua umumnya Muhaimin Iskandar.

Sedangkan di lingkaran elit Jokowi diantaranya ada nama Jusuf Kalla (JK) dan Luhut Binsar Panjaitan yang juga sedang berebut pengaruh.

JK tampaknya telah mengubah rencananya untuk pensiun. Pasca-Mahathir Mohamad di Malaysia naik kembali ke tampuk kekuasaan, JK seperti terinspirasi sehingga faktor usia kini dikesampingkannya.

Apalagi setelah perkara pengujian pasal mengenai pembatasan masa jabatan Wakil Presiden bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK), JK semakin memperlihatkan keinginannya untuk kembali diduetkan dengan Jokowi.

Sedangkan Luhut, walaupun bukan ketua umum parpol, bukan pula Wakil Presiden seperti JK, tetapi dia disebut-sebut berusaha ikut 'cawe-cawe' dalam pengisian posisi cawapres untuk Jokowi.

Saya menduga ada peran Luhut dibalik munculnya nama Sri Mulyani Indrawati (SMI) sebagai kandidat cawapres Jokowi. Relasi Luhut dan SMI cukup erat. Ditariknya SMI dari Amerika Serikat oleh Jokowi untuk menjadi menteri dulu pun disebut-sebut karena ada peran Luhut didalamnya.

Jadi, aksi tarik-menarik kepentingan dilingkungan parpol koalisi dan dilingkaran elit Jokowi itulah yang saya duga menjadi penyebab tertundanya pengumuman cawapres Jokowi.

Tetapi jika perkara yang terkait dengan posisi JK bisa diputus MK sebelum batas akhir pendaftaran capres-cawapres ke KPU, maka dalam hal Putusan itu berpihak pada JK, saya menduga mantan Wakil Presiden SBY itu akan kembali disepakati oleh parpol koalisi menjadi pendamping Jokowi.[***]

Penulis adalah pemerhati politik, pemilu dan kenegaraan.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA