Tidak hanya itu, menurut Ketua Yayasan Universitas Bung Karno tersebut, proses dalam melakukan amandemen UUD 1945 adalah sebuah tindakan melawan hukum.
"Karena mengelabuhi rakyat bahwa UUD yang berlaku saat ini adalah kepanjangan dari UUD 1945 yang asli," kata Rachma dalam peringatan 59 tahun Dekrit Presiden Soekarno di Universitas Bung Karno, Jakarta, Kamis (5/7).
Adapun dampak dari amandemen UUD 1945 ini, Rachma berpandangan, Indonesia telah memasuki
grey area (wilayah abu-abu) yang bisa saja sewaktu-waktu menjadi negara federalis, bukan lagi negara kesatuan lantaran dari hasil amandemen telah merubah dasar konstitusi.
Beberapa catatan Rachma, hasil amandemen UUD 44 empat kali sejak tahun 1999-2002 salah satu contohnya pasal 6 ayat (1), yang menghapuskan dan meniadakan definisi orang Indonesia asli dan menggantinya dengan pasal 28b ayat (4) yang mengatakan setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
"Dalam hal ini, Indonesia telah menunjukan hilangnya kedaulatan sebagai suatu bangsa," kata Rahma.
Sementara jika ditinjau dari segi sosial politik, amandemen UUD 1945 ini mengacaukan sistem ketatanegaraan dan menghilangkan kedaulatan rakyat.
Misalnya, kata Rachma, kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang saat ini, tidak lagi ada kewenangan menyusun Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan dalam ketetapan MPR, yang pada saat itu bisa menurunkan presiden.
"Lewat mandataris MPR" ujarnya.
Sehingga hal tersebut, merubah posisi MPR yang semula sebagai lembaga tinggi negara yang pelaksana kedaulatan rakyat yang memilih dan menurunkan presiden dan wakil presiden serta menetapkan GBHN.
"Kini sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti MPR dan Mahkamah Agung," sebut Rachma.
[fiq]
BERITA TERKAIT: