Sejarah Sidang Istbat dimulai tahun 1950-an. Inisiatif ini diambil Pemerintah untuk menjembatani perbedaan di antara ormas-ormas Islam dalam menentukan awal bulan kalender Hijriyah. Masalah ini menjadi penting saat menentukan awal Ramadhan untuk memulai puasa, Syawal untuk menetapkan Idhul Fitri, dan Zulhijjah untuk menetapkan Hari Raya Idhul Adha.
Saat itu ada dua kelompok besar, yaitu yang menggunakan metode Hisab (perhitungan) astronomi dan metode Rukyah (mengamati) langsung posisi bulan. Inisiatif ini telah memberikan manfaat besar bagi masyarakat, untuk menghindari perbedaan dalam penentuan Ramadhan dan Idhul Fitri berkembang ke arah lain. Meskipun kadang-kadang dalam sidang Isbat disepakati untuk tidak sepakat yang berimplikasi pada perbedaan penetapan Idhul Fitri. Yang juga perlu disadari Sidang Isbat sebelum Ramadhan dan Idhul Fitri hanya ada di Indonesia, yang bisa juga disebut sebagai kearifan lokal.
Sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan (sain dan teknologi) khususnya ketika teknologi satelit dimanfaatkan untuk mengamati posisi Bulan terhadap Bumi yang dapat dilakukan setiap saat tanpa terhalang cuaca buruk seperti mendung atau hujan. Perbedaan pendekatan Hisab dan Rukyah murni sudah tidak relevan lagi, karena rukyah (pengamatan) posisi Bulan dapat dilakukan kapan saja. Apalagi kini dikembangkan berbagai program yang berbasis komputer yang dikenal dengan perangkat lunak, sehingga masyarakat awam dapat ikut mengamati posisi Bulan secara mudah.
Merespon perkembangan ini, sejak tahun 1972 Kementrian Agama membentuk sebuah badan yang diberi nama Badan Hisab dan Rukyah (BHR). Badan ini mengikuti perkembangan metodologi penetapan awal bulan dalam kalender Hijriah termasuk penggunaan instrumen yang digunakan akibat perkembangan teknologi. Masalahnya kemudian bergeser, tidak lagi perbedaan antara kelompok Hisab dan Rukyah, akan tetapi antara kelomok Wujudul Hilal dan kelompok Imkanu Rukyah.
Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima' qablal ghurub) dan bulan terbenam setelah matahari terbenam. Sedangkan Imkanur Rukyah sejatinya sama dengan Wujudul Hilal, hanya saja dengan syarat, pada saat Matahri terbenam, ketinggian Bulan disyaratkan berada pada posisi di atas cakrawala minimum 2 derajat, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari minimum 3 derajat, atau pada saat Bulan terbenam, usia Bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak. Syarat-syarat ini dibuat dengan asumsi bahwa pada posisi tersebut bulan sabit mulai terlihat dari bumi.
Menurut Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin (release, 7 Mei 2018), Ramadhan dan Idhul Fitri tahun ini sampai 2021 akan sama, dalam arti tidak ada perbedaan disebabkan posisi bulan yang menyebabkan kriteria dua kelompok besar di atas terpenuhi. Jika demikian adanya, apakah Sidang Isbat masih diperlukan?
Dalam era digital seperti sekarang ini masyarakat memerlukan kepastian, sehingga semakin cepat diumumkan tentu akan semakin baik, karena mereka dapat merencanakan berbagai program kenegaraan, kemasyarakatan, keluarga maupun pribadi secara lebih dini. Lebih dari itu, Sidang Isbat yang berlangsung sementara ini kurang mendidik, seolah tokoh-tokoh Islam kurang mengikuti perkembangan teknologi atau menolak kemajuan teknologi. Apalagi biaya Sidang Isbat sendiri cukup besar sehingga menggerus kas negara.
Jika sudah tidak ada lagi perbedaan, dan kapan waktunya sudah diketahui, mengapa mulainya Ramadhan dan Idhul Fitri tidak segera diumumkan?[***]
*Penulis adalah Direktur Eksekutif Center for Dialogue and Cooperation among Civilization (CDCC), mantan Anggota Komisi I DPR RI.
BERITA TERKAIT: