Meskipun penting, infrastruktur publik haruslah dibangun dengan perhitungan yang masak baik manfaatnya, kualitasnya, dan sumber pendanaannya agar tidak justru menjadi kontraproduktif.
Robohnya tiang girder jalan toll Becakayu di Jakarta Timur pada tanggal 20 Februari 2018 semakin menambah daftar panjang kecelakaan-kecelakaan dalam pembangunan projek infrastruktur baik yang sedang dalam konstruksi maupun yang baru saja selesai.
Dalam dua tahun ini sekurang-kurangnya terdapat 14 kecelakaan projek infrastruktur. Kecelakaan-kecelakaan ini juga amat bervariasi dari robohnya crane, robohnya tanggul penyangga underpass Airport Soekarno Hatta, jalan toll dan jembatan yang amblas, dan lain-lain. Diluar itu bahkan kita menyaksikan terminal tiga baru Bandara Soekarno Hatta yang kebanjiran dan plafon ambruk. Kecelakaan infrastruktur tadi umumnya menelan korban jiwa maupun kerugian yang tidak sedikit.
Kecelakaan-kecelakaan infrastruktur ini memberikan indikasi rendahnya kualitas projek bangunan infrastruktur dalam Pemerintahan Jokowi. Indikasi lain dikhawatirkan terjadinya korupsi dalam pengerjaan projek infrastruktur sehingga kualitas bangunan yang tidak memenuhi standard.
Faktor lain yang memperburuk kualitas projek adalah pengerjaan yang terburu-buru sehingga tidak sesuai dengan standard operating procedure (SOP). Projek-projek infrastruktur ini juga diduga tidak memiliki Amdal yang memadai. Selain itu fungsi pengawasan hampir dapat dipastikan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Komisi Penyelamatan Konstruksi nampaknya tidak menjalankan tugasnya dengan semestinya. Diatas semua itu jelas kurangnya kordinasi antar instansi pemerintah.
Faktor-faktor tersebut menyebabkan kecerobohan dalam pelaksanaan pengerjaan projek yang menghasilkan infrastruktur dengan kualitas rendah sehingga mengabaikan faktor keselamatan dan keamanan baik semasa konstruksi maupun setelah konstruksi selesai.
Terjadinya kecelakaan yang berturut-turut ini telah menimbulkan citra kuat dimasyarakat bahwa projek-projek infrastruktur yang mahal dan sebagiannya dibiayai dengan utang ternyata mempunyai kualitas yang buruk dan tidak memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan terhadap penggunanya. Dilain pihak projek infrastruktur ini pada umumnya bersifat komersial yang akan menjual jasanya kepada publik dengan tarif yang relatif mahal.
Dikhawatirkan para calon pemakai infrastruktur berbayar ini akan ragu-ragu menjadi konsumennya paling tidak sampai kelak benar-benar yakin dan sudah teruji aman dari faktor keselamatan pengguna. Konsekuensi dari prilaku konsumen ini akan merugikan pengelola atau bisnis infrastruktur karena berkurangnya pemasukan (income). Akibat lebih lanjut adalah para kreditor projek mencemaskan kemampuan projek untuk membayar kembali kreditnya.
Akibat lebih jauh dari projek yang bermutu rendah ialah mahalnya ongkos perbaikan dan pemeliharaan. Selain itu umur ekonomis projek juga menyusut sehingga menurunkan nilai asset atau nilai jual infrastruktur tersebut. Rendahnya nilai jual asset berpotensi merugikan investasi dan mengganggu kebijakan Pemerintah Jokowi yang ingin menjual infrastruktur yang telah selesai guna mendapatkan pendanaan untuk pembangunan projek berikutnya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pembangunan infrastruktur adalah andalan politis Jokowi untuk mendapatkan dukungan publik. Dilain pihak publik juga banyak yang berpandangan bahwa projek-projek ini terlalu ambisius dan mahal bila dibandingkan dengan projek-projek serupa di luar negeri. Karena itu kita bisa memahami reaksi serius Presiden Jokowi atas kecelakaan bertubi-tubi infrastruktur yang dapat menurunkan kredibilitasnya sebagai sponsor utama pembangunan infrastruktur.
Pemerintah mengambil langkah dramatis untuk menghentikan sementara semua projek elevated (layang) infrastruktur di Indonesia seperti LRT, jalan toll layang, dan jembatan. Menteri Pekerjaan Umum mensinyalir telah terjadi kesalahan konstruksi sehingga semua harus dibongkar baik yang roboh dan yang tidak. Meski sebenarnya terlambat, untuk mencegah kecelakaan lebih lanjut pemerintah menegaskan akan melakukan evaluasi total terhadap pelaksanaan teknis projek.
Dibanyak negara lain pada situasi seperti ini budaya dan moral politiknya adalah mundurnya pejabat-pejabat politis (Menteri) yang bertanggungjawab terhadap projek yang telah menelan korban jiwa. Selama ini setiap kali terjadi kecelakaan kerja dalam pembangunan projek yang dimintai pertanggungjawaban atau diadili adalah pejabat hilir atau penanggungjawab pelaksana lapangan.
Padahal melihat berturut-turutnya kecelakaan kerja yang terjadi kemungkinan besar sumber kesalahan terdapat pada pejabat hulu atau pembuat kebijakan. Hukum harus adil dan tajam baik kebawah maupun keatas.
[***]
Penulis adalah mantan Menteri Keuangan RI