"Partai itu kan didirikan dengan susah payah oleh Wiranto. Melalui partai itu pula beberapa kali dia mencoba mengadu nasib menjadi capres dan cawapres," kata pengamat politik Said Salahuddin, Jumat (19/1).
Wiranto menanggalkan jabatan ketua umum Hanura karena dipaksa oleh keadaan dan bukan atas kehendaknya sendiri, melainkan karena Presiden Joko Widodo melarangnya merangkap jabatan.
"Jadi selama dipimpin OSO, pada tingkat tertentu saya kira Wiranto masih tetap memainkan perannya dalam mengendalikan arah dan kebijakan politik Hanura yang dipimpin ketua DPD RI itu. Minimal dia memainkan peran sebagai penyeimbang OSO di tubuh partai," ujar Said.
Terkait munculnya konflik di internal Hanura saat ini, sulit dibayangkan terjadi tanpa ada keterlibatan Wiranto di belakangnya. Kalaupun tidak berperan sebagai aktor utamanya, sekurang-kurangnya Wiranto disuga sudah sejak awal telah memberikan anggukan kepala sebagai tanda restunya pada faksi yang ingin menggoyang OSO.
"Dugaan itu bisa saja muncul karena Wiranto sendiri tidak puas terhadap kepemimpinan OSO atau bisa juga Wiranto merasa agenda politiknya pada Pemilu 2019 berseberangan jalan dengan skenario politik yang dirancang OSO," sebuat Said.
Menurutnya, di hadapan publik boleh saja Wiranto dan OSO saling rangkul dan memperlihatkan keakrabannya, tetapi di balik itu tidak menutup kemungkinan ada persaingan politik diantara keduanya, terutama dalam relasinya dengan Presiden.
"Wiranto kita kenal dekat dengan Jokowi. Tetapi OSO pun tak kalah dekatnya dengan sang presiden," ungkap ‎Direktur Sinergi masyarakat untuk demokrasi Indonesia (Sigma) ini.
Jadi, lanjut Said, di balik konflik Hanura ini sepertinya ada semacam aksi saling berebut pengaruh diantara keduanya dalam upaya mengukuhkan posisi tawarnya di hadapan Jokowi. Dalam bahasa mudahnya, persaingan politik keduanya tidak bisa dilepaskan dari agenda masing-masing dalam menyusun rancang bangun politik Hanura pada Pemilu 2019.
[rus]
BERITA TERKAIT: