Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Megawati Tunjukkan Anti Militer Di Pilgub Sumut

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/natalius-pigai-5'>NATALIUS PIGAI</a>
OLEH: NATALIUS PIGAI
  • Senin, 08 Januari 2018, 10:35 WIB
Megawati Tunjukkan Anti Militer Di Pilgub Sumut
Djarot Saiful Hidayat/Net
PENUNJUKKAN Djarot Saiful Hidayat oleh PDIP sebagai calon gubernur Sumatera Utara merupakan hal yang biasa bagi orang awan.

Mungkin sebagian orang berpikir bahwa Djarot Saiful Hidayat bukan kader biasa, beliau kepala daerah dua periode di Blitar, juga pernah menjadi wakil gubernur dan gubernur di DKI jakarta.

Pertanyaannya politisnya, kalau sudah berprestasi kenapa tidak menunjuk Gatot Saiful Hidayat sebagai calon gubernur Jawa Timur, kampung halamannya? Megawati memiliki kalkulasi politik tersendiri bahwa bagi masyarakat Jawa Timur, Djarot Saiful Hidayat bukan siapa-siapa? Beliau adalah mantan walikota terkecil yang terletak di bawah kaki Gunung Kelud, tidak memiliki sumber daya alam dan bahkan tingkat ketergantungan (ratio dependentia) tertinggi di Jawa Timur bahkan mungkin di Indonesia.

Demikian pula Djarot juga menjadi wakil gubernur dan gubernur DKI Jakarta bukan karena prestasi politik, namun karena menerima durian runtuh dalam masa bhakti seumur jagung.

Partai PDIP adalah partai yang pandai bersandiwara cenderung melodramatik. Lihat saja akhir-akhir ini pemimpin-pemimpin partai cengeng, tangis strategi menarik simpati publik Jawa Timur.

Nilai jual Djarot ke Sumatera Utara hanya satu, dicitrakan sebagai orang baik, pemimpin yang nyaris tudak bermasalah dan sebagian besar orang awam menganggap Djarot berprestasi di kabupaten terkenal, tempat kelahiran Soekarno. Padahal kota paling kecil di Jawa Timur.

Lantas apa tujuan utama Ibu Megawati mengutus Djarot ke Sumatera Utara? Bisa diduga tidak lain, tidak bukan adalah membendung munculnya TNI masuk dalam ranah sipil, bukan karena semata-mata demi kedigdayaan sipil (civilian cintrol) tetapi karena Megawati Soekarno Putri menyimpan amarah dan dendam masa lalu terhadap militer.

Peristiwa 27 Juli 1996 adalah peristiwa kelam (noda hitam) karena Suryadi menguasai panggung politik PDI di mana kongres di Medan, Suryadi dibekingi oleh militer. Peristiwa 1996 salah satu puncak dari keberadaan Megawati Sukarno Putri yang selalu berada di bawah tekanan militer sejak masuk dalam panggung politik di awal tahun 1980-an. Untungnya, Megawati dijaga dan diselamatkan oleh LB Murdani yang berkuasa saat itu.

Ketika terpilih sebagai wakil presiden dan kemudian menjadi presiden, Megawati menghadapi problem paling serius di Sumatera Utara karena tuntutan internasional dan masyarakat terkait kasus Indorayon yang dibekingi tentara. Berangkat dari berbagai pengalaman ini ternyata di tubuh PDIP perjuangan tidak menunjukkan simpati terhadap militer, khususnya Angkatan Darat.

Rasa kebencian Megawati terhadap militer telah ditunjukkan dengan tidak banyak menampung pensiunan perwira tinggi militer sebagai kader PDIP, kecuali TB Hasanuddin.

Hubungan yang paling tidak harmonis juga ditunjukkannya dengan adanya dendam kesumat Megawati Sukarno Putri dengan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai politikus yang berasal dari perwira tinggi militer. Terlemparnya Sutiyoso dari BIN dan digantikan dengan Budi Gunawan, orang dekat Megawati.

Hampir semua mantan Panglima TNI cenderung kurang harmonis baik dengan Megawati maupun juga PDIP. Salah satunya adalah kegagalan Jenderal Moeldoko yang cemerlang saat itu untuk mendampingi Joko Widodo sebagai Calon Wakil Presiden tahun 2014.

Dengan melihat gambaran tersebut di atas dapat menarik kesimpulan bahwa pakem politik Megawati Sukarno Putri sebagai pengendali tunggal PDIP adalah politik anti militer (anti tentara). Dan itulah inner circle politik Megawati Sukarno Putri.

Kembali ke Pilkada Sumatera Utara. Perutusan Jarot Saiful Hidayat sesungguhnya adalah keinginan PDIP membatasi terpilihnya Edy Rahmayadi (mantan Pangkostrad) menjadi gubernur. Selain mengganggu suara dari suku Batak, juga Melayu dan Jawa. Megawati sangat paham bahwa Djarot adalah orang asing di Sumatera utara, Djarot bukan siapa-siapa dan Megawati juga tahu betul bahwa politisi PDIP dari Sumatera Utara seperti Efendi Simbolon, Mauarar, Sukur Nababan dan lain sebagainya pasti tidak senang dengan keputusannya.

Sikap Megawati dan PDIP yang cenderung membatasi atau menghambat munculnya gubernur berlatar belakang militer di Sumatera Utara perlu dipikir ulang karena bagaimanapun gubernur berlatar belakang sipil cenderung koruptif dan berakhir di penjara. Bahkan tidak menujukkan prestasi dan kinerja yang baik. Apalagi Sumatera Utara yang berada di beranda depan pertahanan baik darat dan utara.

Sumatera utara merupakan salah satu provinsi yang berbatasan langsung dengan negara-negara macan seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan juga samudra India.

Pangkalan Udara Polonia juga merupakan satu satunya pangkalan angkatan udara terbesar di Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara tetangga dan selat Malaka.

Konflik Laut China Selatan, penetrasi Kapital China melalui taipan-taipan hoakiu yang berbasis di Singapura dan Malaysia yang menguasai jutaan hektar di sektor perkebunan di Sumatera, mobilitas barang dan jasa melalui selat Malaka dengan segala kompleksitas persoalan seperti perdagangan manusia (traficking) dan penyelundupan ( smugling). Demikian pula Sumatera Utara dengan tipologi masyarakat yang cenderung keras, transaksional dan problematik.

Mengatasi berbagai kompleksitas persoalan di atas membutuhkan seorang figur gubernur yang tegas, bersih dan berwibawa sehingga figur militer sangat tepat untuk memimpin Sumatera Utara pada periode yang akan datang.

Saya aktivis 98 dan aktivis kemanusiaan yang pernah menjadi korban dari militer tentunya tidak rela jika militer masuk panggung politik. Namun demikian, pada saat ini kita sedang menikmati era demokrasi sehingga tidak perlu alergi atau dikotomi militer-sipil.

Untuk Sumatera Utara dan provinsi lain kehadiran pemimpin yang nasionalis dan tegas dan bersih sangat relevan, kecuali di Provinsi Papua karena terkait isu sensitif tentang hak asasi manusia sehingga TNI dan Polri belum bisa menjadi gubernur Papua.

Dalam konteks ini, sangat disayangkan jika politisi sekelas Megawati Sukarno Putri masih menyimpan amarah dan dendam kesumat terhadap tentara. Sudah saatnya dibutuhkan bernafaskan politik kebangsaan dengan mengedepankan sistem meritokrasi dalam seleksi pimpinan daerah dan nasional.

Dengan demikian kita dapat mengatasi tiga problem serius bangsa yaitu: 1) perilaku koruptif dan nepotisme. 2). Labilitas integrasi sosial. 3)Labilitas integrasi nasional. 4) bahaya perang proxy. Semuanya dapat teratasi jika pemimpin daerah dan pusat yang bersih, tegas dan berwibawa.

Megawati sudah seharusnya mengedepankan politik kebangsaan di Sumatera Utara, bukan membalas dendam kesumat terhadap militer. Bagaimanapun Sumatera Utara saat ini membutuhkan pemimpin yang bersih dan berwibawa dari gubernur dari sipil terdahulu yang penuh dengan problematik.[***]

 
Komisioner Komnas HAM 2012-2017; Aktivis 98 dan Alumni Kelompok Cipayung

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA