GCG didasarkan pada pasal 2 ayat 1 huruf (b) UU BUMN, "tujuan BUMN adalah mengejar keuntungan". Dan, 17 buah UU yang berkaitan dengan BUMN, 80 persen terbitan rezim Reformasi, termasuk UU BUMN. Pelanggaran terhadap GCG adalah pelanggaran hukum. Ini yang dicari Perma Nomor 13/2016 tentang penanganan kejahatan korporasi quasy criminal property law.
Menurut UU BUMN, penguasanya dua orang, Menteri BUMN dan Menteri Keuangan (UU Keuangan Negara). Mereka yang tentukan naik turunnya ROA dan ROE, ukuran utama kinerja BUMN. Karena itu, cashflow Pertamina yang kacau saat ini, dalam kendali Sri Mulyani, sedang beleidnya di Rini Suwandi. Karenanya Pertamina tak bisa bangkrut. Paling pol, berurusan dengan Densus Tipikor dan KPK seperti Prof Rubi Andini yang mengubah wajah Pertamina kini.
PSO Paradoks
Pertama, karena piutang di Pemerintah belum dibayar lebih Rp 40 triliun. Kedua, PSO yang selalu dimenangi Pertamina, terus merugi. Ketiga, tekor dari one price BBM (harga sama se-Indonesia), yang harus ditanggung sendirian oleh Pertamina, nombok Rp 800 miliar saat ini, dan pada akhir November 2018, Rp 3 triliun. Karena one price itu hanya didasarkan perintah lisan presiden, tak ada dasar hukumnya, maka resikonya tak ditanggung APBN, melainkan Pertamina ansich. Utang saja lagi, nanti dibayar dengan penyertaan modal dan pengampunan pajak.
Dari skema BPH Migas yang saya peroleh dari Salamuddin Daeng, tender PSO dihilangkan saja, diubah penugasan kepada Pertamina, seperti pola penugasan pengadaan gas 3 kilogram. Sebab, menurut saya, masih berguna bagi rakyat konsentrasi ke ayat 1, pasal 33 UUD 1945. Pertamina memang bolak-balik rugi, tapi tidak pernah bangkrut dan Direksi Pertamina tak perlu kuatir bangkrut sepanjang hasilnya untuk menciptakan keadilan bagi seluruh stakeholder.
PSO memakai mekanisme neolib, mekanisme pasar, kompetisi. Tapi dengan harga yang didikte. Yang besar dengan yang kecil disuruh bertanding, pemenangnya raksasa yang itu-itu juga, antara lain Pertamina, termasuk beauty contest-nya. Tak fairplay. Hari gini bohong-bohongan, dihapus saja PSO legacy rezim Yudhoyono itu.
Masalah baru muncul karena pompa bensin yang booking Premium tekor Rp 170 tiap liter yang harga jualnya Rp 6.500, sementara end user pindah ke Pertalite yang lebih menguntungkan karena spread-nya cuma Rp 1.000. Jika Premium mau diselamatkan, hapus Pertalite!
Kemarin, tokoh-tokoh IRESS, INFID, ITW, dan AEPI berjumpa di Pulau Dua sepakat agar PSO premium diganti penugasan pemerintah. Tender bohong-bohongan di-closing, agar negara tidak hoax. Dua hari sebelumnya saya ketemu Faisal, ketua federasi karyawan yang gusar karena dituding bajingan oleh Panja Komisi VII DPR. Yang bajingan siapa? Pertamina, pemerintah atau DPR? Triumviraat, detournement du pavoir, saya kira tiga-tiganya pemain minyak sejak reformasi.
Strategis, Tender Tak Harus
Menurut Keppres 80 dan turunannya tender PSO itu tak harus karena barang strategis. Tender PSO mengacu RAPBN 2018 yang malah sudah diratifikasi, merujuk UU 22/2001 tentang Migas, PP 36/2004 dan Peraturan BPH Migas 09/P/BPH Migas/XII/2005.
Itu menurut IRESS perlu diubah, dari swasta ke BUMN. Apa berani Presiden Jokowi menerbitkan diskresi? Bagus untuk pencitraan, mister presiden. Tapi dari mana Presiden akan ambil kekurangannya jika dibuat penugasan? Menurut UU 17 harus dimasukkan ke APBN 2018. Nah, RAPBNP-nya sudah lewat. Jadi, keruk Pertamina lagi.
Harga variabel BBM PSO ditetapkan oleh pemerintah per kuartal, mengikuti formula Perpres 191/2014 tadi, variannya dapat berubah tiap saat; di bawah kontrol pemerintah, kurs, dan harga internasional. Jika naik 25 persen, kontraktor dipastikan buntung karena harga hasil tender tetap tak berubah dalam kurun satu tahun kontrak itu.
Hanya Pertamina yang bisa menjalankan kondisi itu, maka tender dihapus saja. Karena tak logis, kecuali menguntungkan ekonomi rente Triumviraat doang.
[***]
Penulis adalah ketua umum Indonesia Tax Watch, mantan anggota Komisi III DPR
BERITA TERKAIT: