Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Busana Adat, Narasi Keberagaman Di Istana

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/zainal-bintang-5'>ZAINAL BINTANG</a>
OLEH: ZAINAL BINTANG
  • Kamis, 17 Agustus 2017, 13:28 WIB
Busana Adat, Narasi Keberagaman Di Istana
Zainal Bintang/Net
PERINGATAN Hari Proklamasi 17 Agustus 1945 ke 72 hari ini berbeda dengan tahun sebelumnya. Lebih berbeda lagi jika dibandingkan di era presiden SBY yang selama sepuluh tahun berkuasa (2004-2014).

Apa yang membedakannya?

Istana bertabur pakaian adat aneka suku bangsa Indonesia. Presiden Jokowi menggunakan busana adat Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Jusuf Kalla memakai pakaian adat bangsawan Bugis Makassar.

Nyaris semua tamu berlomba menggunakan pakaian adat daerah. Termasuk para menteri Kabinet Kerja dan mantan Presiden B.J. Habibie, Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan Paspampres pun berbusana adat.

Sebuah pemandangan yang terbaca: Bersama Jokowi bangsa ini sedang berjuang mengangkat tinggi-tinggi  keberagaman nilai luhur budaya; dan pada saat yang sama menyelam dalam - dalam ke dasar hakiki kemuliaan nilai luhur itu.

Ini hal yang penting dan mengharukan.

Yang kalau boleh dikatakan, setelah reformasi hakikat kemuliaan dan keluhuran budaya itu sayup-sayup menjauh dari narasi kehidupan.

Bangsa telah terjebak menjadi gersang dipanggang oleh perilaku perpolitikan tanpa moralitas. Mendewakan kekuasaan. Efek buruk demokrasi kerakyatan yang salah kaprah.

Mengapa publik tersentak dengan pemandangan baru itu?

Bermula ketika, Jokowi tampil sangat gagah dengan balutan busana bangsawan Bugis Makassar dan Jusuf Kala sebaliknya, kelihatan sangat arif dan bijaksana dengan busana Jawa ketika menyampaikan pidato dalam Sidang Tahunan MPR RI tanggal 16 Agustus 2017.

Seorang teman bergurau menulis pesan whatsapp kepada saya: "Pak JK seperti sedang menggandeng menantunya".

Narasi busana itu melahirkan suasana segar. Menguatkan tali kekeluargaan. Mengobarkan kebanggaan jatidiri. Kesemuanya itu perlu selalu dihidup-hidupkan supaya merasuk ke dalam sanubari anak bangsa.

Diperlukan selalu reaktualisasi Bhinneka Tunggal Ika tanpa doktrin yang kaku. Tidak memerlukan sebuah Perppu. Tumbuh dan memancar dari sumbernya yang hakiki. Menumbuhkan secara otomatis api kesadaran "berbeda beda tapi satu".

Bukan hanya baru kali ini Jokowi melakukan tindakan terobosan nasional yang berwawasan nusantara.
Pada tanggal 1 Juni yang lalu, Jokowi mengambil keputusan drastis yang dinilai kontroversial. Menetapkan hari lahir Pancasila plus hari libur nasional jatuh pada tanggal 1 Juni untuk seterusnya.

Keputusan telah diambil dan dilaksanakan!

Meninggalkan jauh di belakang kelompok pengecam yang menghamburkan kritik. Baik secara analisis, ilmiah maupun sekedar mulut yang berbusa-busa melalui jasa medsos (media sosial) yang gratis, cepat saji dan super liberal tanpa kontrol.

Jokowi melaju meskipun dihujani tembakan kiri kanan oleh lawan politiknya, yang menganggap hari lahir Pancasila adalah pada 18 Agustus 1945. Dan penemunya bukan Bung Karno, kata pengeritik yang tanpa henti  meracuni fikiran rakyat.

Tanpa Pancasila, alangkah sukarnya mempersatukan bangsa yang majemuk ini . Tanpa Pancasila alangkah mudahnya bangsa ini dicaplok oleh ideologi impor yang terus mengintai kelengahan kita.

Jokowi pada akhirnya dapat dikatakan sangat paham dan menghayati apa sesungguhnya yang diperlukan bangsa besar ini supaya tetap kokoh, tetap akrab, tetap utuh dan tetap kreatif  serta berfikir maju.

Mantan walikota Solo yang lama menggeluti bisnis mebel, perabotan. Tentunya sangat paham sifat kayu sebagai bahan dasar. Sangat paham filosofi kayu.

Kayu adalah anak kandung alam yang memiliki jalinan persahabatan dan jalinan hidup dengan rakyat  yang berbalut kesetiaan tanpa ujung.

Tidak ada kehidupan tanpa kayu. Tidak ada penghargaan dan kepedulian kepada kayu kalau tidak ada manusia. Manusia yang bernama rakyat itu,  bergaul, tumbuh, menderita dan bahagia bersama kayu.

Di dalam kayu tersimpan contoh kesetiaan kepada alam. Kayulah yang bersama keluarga besar para pepohonan yang merawat bumi dan alam ini supaya tidak hilang dan musnah ditelan kerakusan manusia.
Jokowi menjadi presiden Indonesia yang ke tujuh. Angka tujuh adalah simbolik yang sakral. Alam dan bumi ini dijaga oleh langit dan tanah yang memiliki tujuh lapisan.

Mencermati jejak langkah kebijakan nasional Jokowi sejak dilantik sampai hari ini, terbaca, bahwa presiden yang berbadan kurus itu, - mengutip Tifatul Sembiring - yang mendoakan,  "semoga oleh Tuhan diberi kesehatan supaya  gemuk" ,- sedang fokus "mencuci piring" sejumlah kebijakan yang salah sasaran peninggalan pemerintah sebelumnya.

Sambil mencuci piring dan sambil dihujani tembakan kecaman oleh lawan politik, Jokowi memang terlihat repot. Namun dia tidak perlu kehilangan senyum dan pancaran kebahagiaan di wajahnya.

Jokowi sepertinya menghayati pesan sebuah judul buku populer kelas dunia yaitu "La Tahzan". Buku ini dikarang DR. Aidh Al-Qarni, pejabat kerajaan Arab Saudi kelahiran 1960. La Tahzan artinya "Jangan Bersedih".

Berangkat dari filosofi kayu, - sejak dilantik jadi presiden -  Jokowi terus memilih pola kepemipinan blusukan, yang mengandung arti berbaur dengan tulus dengan rakyat.

Jokowi lah yang membangun hubungan batin antara pemimpin tertinggi di negeri ini dengan anak-anak desa Indonesia melalui acara kuis sepeda.

Anak kecil Indonesia usia sekolah, yang puluhan  juta orang banyaknya, mendadak menemukan seorang sahabat sejati.

Sahabat sejati yang mau menemui mereka dengan menyingkirkan semua tata protokoler kepresidenan.
Jokowi bukan tokoh dalam dongeng dalam buku cerita anak kecil itu. Tapi, Jokowi sang presiden itulah yang menyapa mereka. Yang mendatangi mereka. Yang memberikan mereka senyum. Sehingga bisa tersenyum. Senyum akrab sesama anak manusia.

Di dalam filosofi hidup Jokowi, rupanya melekat suatu keyakinan yang sangat ajeg, bahwa: kayu adalah simbol kesetiaan serta  kesederhanaan ; sementara anak-anak adalah simbol masa depan. Kedua unsur itu melekat di dalam frame yang bernama keberagaman.

Maka pesan pada peringatan Proklamasi di gedung MPR RI tanggal 16 Agustus yang berlanut di Istana keesokan harinya, menorehkan pesan kebudayaan yang bernilai luhur: Keberagaman adalah kekuatan Indonesia!

Kesediaan Jokowi memakai pakaian adat bangsawan Bugis Makassar dan keikhlasan Jusuf Kalla memakai blangkon Jawa, adalah bukti nyata mengemukanya pesan kebudayaan yang berada di jantung keberagaman itu.

Pesan kebudayaan yang sarat makna keberagaman. Di dalam mana Pancasila sebagai pemangku amanah kekokohan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bersemayam di dalamnya.

Tidak akan lekang oleh panas dan tak akan lapuk oleh hujan.

Merdeka…!!!! [***]

Penulis adalah wartawan senior dan Dewan Pakar DPP Partai Golkar

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA