Hal ini diutarakan Fadli di gedung DPR, kemarin. "Jangan dibuat seolah-olah nanti ada calon tunggal. Ini kan ada kecenderungan mau dibikin presiden ini calon tunggal. Kalaupun ada calon kedua, itu calon bonekanya gitu. Ini menurut saya merusak," ujar Fadli.
Tudingan Wakil Ketua DPR itu bukan tanpa sebab. Menurut Fadli,
presidential threshold atau ambang batas pengajuan capres tidak sesuai konstitusi. Sebab, dalam konstitusi, setiap orang memiliki hak untuk memilih dan dipilih. "Jadi tiap warga negara nggak boleh dipersulit untuk dipilih," tegasnya.
Nah, atas dasar itulah, kata Fadli, Gerindra tetap ingin tidak ada presidential threshold pada Pemilu 2019. Malah, lanjut Fadli, dalam pemilu serentak seharusnya tidak ada lagi
presidential threshold.
"Kita nggak habis pikir logika pemerintah ini, orang sudah jelas-jelas serentak (pemilu) tapi masih maksa
presidential threshold harus ada. Menurut saya, logikanya nggak masuk akal, nggak nalar," ucap Fadli. "Jadi namanya serentak itu nggak ada lagi presidential threshold, harusnya zero (nol)," tambahnya.
Fadli menegaskan, Fraksi Gerindra di DPR menolak presidential threshold 20 persen. Menurutnya, Gerindra akan berjuang lewat voting di DPR jika keinginannya itu tidak terealisasikan. Jika pihaknya kalah, Gerinda siap melakukan
judicial review. "Saya kira ada langkah-langkah lain. Seperti termasuk misalnya dipaksakan ada
presidential threshold kan bisa di
judicial review," ucap Fadli.
Bahkan Fadli mengatakan istilah presidential threshold seharusnya dihapuskan. Kalaupun yang menjadi alasan pemerintah adalah penyederhanaan, Fadli menegaskan hal tersebut seharusnya berlaku di
parliamentary threshold, bukan di
presidential threshold. "Ini persoalan logika yang anak SD pun ngerti. Kalau serentak itu bersamaan, jadi nggak bisa lagi dipakai (presidential threshold)," pungkasnya.
Seperti diketahui, Pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu sedianya selesai pada akhir April 2017. Nyatanya, RUU yang mengatur hajat hidup parpol di Indonesia itu molor dan diperpanjang hingga 20 Juli 2017.
Ada lima isu krusial di RUU Pemilu yang menjadi polemik, dua di antaranya sudah disepakati yakni, sistem pemilu yang tetap menggunakan sistem proporsional terbuka dan parliamentary threshold atau ambang batas parlemen di angka 4 persen.
Namun, ada tiga hal yang belum diputuskan yakni presidensial threshold, metode konversi suara, dan sebaran kursi per dapil (daerah pemilihan). Nah, khusus soal
presidensial treshold menjadi meruncing di DPR ketika pemerintah menghendaki ambang batas menjadi 20 persen.
Melalui Mendagri Tjahjo Kumolo, pemerintah menegaskan bahwa ambang batas presiden yang diusulkan pemerintah di angka 20-25 persen kursi suara masih sah dan berlaku. Bahkan usulan ini dianggap tidak bertentangan dengan konstitusi yang telah dibangun.
Tjahjo menjelaskan, putusan Mahkamah konsitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013 tidak membatalkan pasal 9 Undang-undang (UU) Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wapres. Artinya ketentuan Presidential Treshold 20 persen kursi atau 25 persen suara sah nasional masih sesuai.
Menurut Tjahjo RUU pemilu tidak menambah dan tidak mengurangi Pasal 9 UU 42/2008 yang tidak dibatalkan MK. "Sehingga dengan demikian tidak benar jika dikatakan bertentangan dengan konstitusi," kata Tjahjo dalam keterangan tertulisnya, Senin (26/6).
Nah, kehendak pemerintah ini kemudian membuat multitafsir di DPR. Legislator terbelah ada yang pro ambang batas presiden menjadi 20 persen. Pemerintah, dengan partai pengusungnya seperti PDIP dan Nasdem menginginkan agar angka
presidential threshold sebesar 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional.
Sementara itu beberapa partai seperti PKB dan PAN, menginginkan agar angka presidential threshold tak sebesar itu. Sedangkan Gerindra dan Demokrat menginginkan agar
presidential threshold dihapuskan.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Arbi Sanit menilai, Fadli Zon terlalu gampang curiga terhadap pemerintah soal ambang batas yang tinggi mencapai 20 persen. Namun, kecurigaan itu wajar saja terjadi karena memang pemerintah mengandalkan
presiden threshold. "Ngga ada capres tunggal, kalau cuma main treshold akan ada tudingan seperti itu," ujar Arbi kepada
Rakyat Merdeka, semalam.
Arbi menyarankan, polemik RUU Pemilu bisa selesai jika legislator bertumpu kepada keputusan MK. Yaitu, pemilu serentak. Artinya, di dalam pemilu serentak tidak ada putaran kedua dan siapapun suara tertinggi di Pilpres adalah pemenang.
Bagaimana menunjukkan kandidat berkualitas? Arbi menyarankan Pansus RUU Pemilu menggunakan pendekatan koalisi besar dengan hitungan separuh suara pemilu lalu. Nah, nantinya akan ada dua calon presiden dari dua koalisi besar dari peserta pemilu legislatif.
"Kalau pakai
treshold, menjadi penyakit. Serentak saja, pendekatan keserentakan dengan serentak sekali putaran. Kalau serentak, hanya ada satu putaran, supaya ada pemenang, koalisi separuh suara, jadi akan ada dua koalisi," sarannya.
Sementara, Direktur Sinergi masyarakat untuk demokrasi Indonesia (Sigma) menjelaskan, desain konstitusi Indonesia tidak mengharapkan munculnya calon tunggal. Namun, dalam perjalannya di Pilkada, ada persyaratan yang memunculkan calon tunggal.
"Pilpres kalau sampai calon tunggal berbahaya. Jadi harus dikunci, salah satunya penghapusan
presidensial thereshold. Kalau dihapus, hampir dipastikan tidak ada calon tunggal," ujar Said kepada
Rakyat Merdeka, semalam. ***
BERITA TERKAIT: