Begitu tegas Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal dalam keterangan tertulisnya kepada redaksi, Kamis (15/6). Dalam kasus ini, Said mencontohkan PHK yang dilakukan sepihak oleh PT Smelting, Gresik.
"Karena PHK tersebut belum berkekuatan hukum tetap, maka pengusaha wajib membayar upah dan hak-hak yang biasa diterima, termasuk THR," tegasnya.
Lebih lanjut, pria yang baru saja terpilih kembali sebagai Governing Body ILO ini juga menyayangkan adanya modus pengusaha yang melakukan PHK dan pemutusan karyawan kontrak demi menghindari pembayaran THR.
"Ini adalah modus yang berulang-ulang setiap tahun dilakukan pengusaha untuk menghindari membayar THR," kata Iqbal.
Dijelaskan Iqbal, dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia 6/2016 tentang Tunjangan Hari Keagamaan, pengusaha yang memutus hubungan kerja buruh kontrak sebelum lebaran, maka tidak ada kewajiban membayar THR buruhnya. Akibatnya, banyak perusahaan yang tidak memperpanjang kontrak kerja karyawannya jelang hari raya keagamaan untuk menghindari pembayaran THR.
"Pemerintah jangan berbangga diri dengan sudah membentuk posko THR dan membuat aturan bahwa buruh masa kerja 1 bulan sudah dapat THR. Sebab yang dibutuhkan buruh adalah law enforcement untuk melawan modus kecurangan tidak membayar THR," sambung Iqbal.
Untuk itu, KSPI mendesak pemerintah melakukan sidak ke perusahaan-perusahaan, bukan sekadar membentuk posko. Selain itu, pemerintah harus memberikan sanksi yang mempunyai efek jera yaitu pidana dan perdata, bukan sekadar sanksi administratif.
Selain itu, aturan pembayaran THR harus diubah menjadi H-30, bukan H-7. Tujuannya, agar pengusaha tidak bisa mengelak dan memanfaatkan waktu tersebut untuk melakukan PHK.
"H-7 adalah waktu dimana pengusaha sudah menerapkan libur bersama selama lebaran. Jadi tidak ada pengaruhnya terhadap produksi, kalaupun perusahaan melakukan PHK pada hari-hari tersebut," sambungnya.
Selain itu, menurut Said Iqbal, perlu ditegaskan adanya larangan bagi perusahaan melakukan PHK atau memutus kontrak buruh pada H-30 sampai H+15.
"Regulasi seperti ini yang dibutuhkan buruh, bukan sekadar posko dan Permenaker abal-abal yang tidak bertaring di hadapan pengusaha,," pungkasnya.
[ian]
BERITA TERKAIT: