Data yang dihimpun Labor Institute Indonesia, perkiraan buruh dan pekerja PT Freeport Indonesia berjumlah 11.700 orang yang merupakan pekerja langsung, dan lebih dari 12.400 orang adalah pekerja kontraktor. Komposisi daripada buruh tersebut lebih kurang 64 persen adalah non Papua, 35 persen asli Papua, dan lebih kurang 2 persen adalah orang asing.
"Apabila para buruh tersebut dirumahkan oleh Freeport dan ratusan perusahaan kontraktornya, maka lebih kurang Rp 1 triliun dana yang dibutuhkan sebagai pesangon. Selain itu, aspek sosial dan budaya juga perlu dipertimbangkan oleh pemerintah sebagai konsekuensi atas terhentinya produksi Freeport," jelas Analis Politik & HAM Labor Institute Indonesia Andy William Sinaga kepada waratwan, Senin (20/1).
Menurut Andy, pihaknya mendukung penuh langkah tegas pemerintah dalam menegakkan ketentuan tentang pemurnian mineral di dalam negeri dengan membuka smelter karena juga akan membuka lapangan kerja baru. Akan tetapi, aspek-aspek ekonomi dan kesiapan pemerintah apabila kalah dalam pengadilan apabila Freeport membawanya ke ranah arbitrase internasional.
Dia menambahkan, strategi ketika transformasi kepemilikan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) yang sebelumnya milik Jepang, sekarang 100 persen milik Indonesia perlu dilakukan pemerintah atas kasus PT Freeport Indonesia. Apabila pemerintah berkeinginan menguasai PT Freeport Indonesia.
"Tetapi dalam masa status quo pengoperasian saat ini, nasib ribuan buruh atau pekerja beserta para keluarganya perlu diperhatikan oleh pemerintah," imbuh Andy.
Diketahui, aturan soal pemurnian mineral di dalam negeri telah tertuang dalam pasal 102, pasal, 103, dan pasal 175 Undang-Undang 4/2009 Tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Di mana, perusahaan tambang yang beroprasi di Indonesia diwajibkan membangun smelter untuk mengolah terlebih dulu bahan tambang mentah sebelum diekspor ke luar negeri.
[wah]
BERITA TERKAIT: