Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Aksi Damai Untuk Indonesia Raya

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/sudarnoto-a-hakim-5'>SUDARNOTO A HAKIM</a>
OLEH: SUDARNOTO A HAKIM
  • Jumat, 23 Desember 2016, 18:50 WIB
Aksi Damai Untuk Indonesia Raya
TAK berlebihan untuk disebut bahwa peristiwa 212 merupakan aksi demo terbesar dan terdamai sepanjang sejarah Indonesia dan bahkan di Asia Tenggara. Unsur agama (Islam)  sangat jelas dan kasat mata.
Selamat Berpuasa

Lantunan Dzikir, Tausiyah dan Sholat Jum'at berjamaah mewarnai aksi super damai hari itu dan serba putih. Untuk memberikan gambaran secara visual, tak sedikit di media sosial menjejerkan peristiwa ini dengan suasana umat Islam saat melaksanakan ibadah di tanah suci. Aksi ini memberikan keteladan beberapa sikap penting antara lain disiplin, bertanggung jawab, tertib, rapi, bersih, respek, menyejukkan, damai, peduli dan solidar.

Media mainstream nasional dan internasional memperkirakan akan terjadi chaos, makar dan penyusupan gerakan Islamic State dan teroris. Perkiraan dan kehawatiran ini sama sekali tidak terbukti.  Aksi ini sama sekali tidak sama dengan gerakan reformasi 1989, revolusi 1979 di Iran atau dengan demo yang juga baru saja terjadi di Malaysia Demo Bersih yang antara lain menuntut Najib mundur dari jabatannya sebagai Perdana Menteri Malaysia.

Tentu aksi 212 sama sekali juga berbeda secara diametral dengan peristiwa 1969 di Kuala Lumpur yang merupakan a blody riot berbasis etnis atau Peristiwa Malari di Jakarta.
  
Diawali dengan sikap MUI terkait dengan penistaan yang dilakukan oleh Ahok,  muncul gerakan yang sangat masiv yang dipimpin oleh tokoh kontroversial dan sering dikatagorikan sebagai tokoh penting hardliner Habib Rizieq Shihab Imam besar FPI dan sejumlah Ustadz lainnya (antara lain Bahtiar  Nasir dan Arifin Ilham).

Tokoh-tokoh penting dari berbagai Ormas Islam (Muhammadiyah, NU misalnya)  tentu saja menjadi bagian penting yang ikut memberikan inspirasi keharusan penegakan supremasi hukum, kedaulatan dan keadilan. Peristiwa Ahok  harus dituntaskan secara hukum. Namun demikian, di balik itu masih banyak agenda kebangsaan yang musti dituntaskan.
    
Jadi,  gerakan yang dimulai dengan aksi 411 hingga 212 ini merupakan dukungan kuat dan kongkrit terhadap sikap dan pandangan keagamaan MUI terkait dengan penistaan yang dilakukan oleh Ahok. Sepanjang yang penulis ketahui, ini merupakan aksi pembelaan terhadap keputusan keagamaan MUI secara masiv demonstratif yang belum ada preseden historisnya. Isu agama menjadi pemantik utama dan berhasil menjadi magnit 7 jutaan muslim dari berbagai daerah untuk hadir dan menjadi bagian "gelombang putih" di Jakarta.

Tentu saja ini merupakan kekuatan atau spirit raksasa yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh kekuatan partai atau tokoh politik dan Ormas manapun. Popularitas tokoh-tokoh dan partai politik tenggelam oleh kharisma tokoh-tokoh agama, para ustadz dan Habaib pemimpin pengajian. 

Iman,  kepercayaan dan al-Qur'an memang magnitude dan umat siap berkorban untuk itu dalam bentuk apapun, harta dan jiwa jika terusik. Dan 212 adalah "a peacefull Jihad," Jihad yang menyenangkan,  membanggakan dan bermartabat yang dilakukan umat Islam, warga yang sangat mencintai bangsa dan negaranya,  Indonesia. Islam yang disuarakan adalah Islam yang mendorong kekuatan untuk membangun Indonesia yang bermartabat dan berdaulat. Dan itulah aksi 212.

Sebelum aksi 411 dan 212 tak sedikit kalangan yang memberikan penilaian bahwa kelompok radikal dan fundamentalis Islam akan membajak, menggiring dan mendominasi aksi ini untuk sebuah agenda yang lebih besar. Kelompok Islam radikal dan fundamentalis yang dimaksud tentu saja FPI di bawah komando Habib Rizieq.

Memang tidak sedikit buku yang telah menempatkan atau mengkatagorikan FPI sebagai kelompok Islam radikal. Tapi memperhatikan dua aksi dan menyimak isi dan diksi khususnya khutbah Jum'at Habib Rizieq saat aksi 212,  justru soft action yang ditampilkan. Yang melakukan tindakan kekerasan dan teror malah aparat,  tindakan yang sangatlah tidak terhormat dan memalukan.

Khutbah Rizieq

Menarik menyimak khutbah Jum'at Habib Rizieq di hadapan 7 juta jamaah yang juga dihadiri antara lain oleh Presiden dan Kapolri. Khutbah ini monumental di hadapan jamaah yang memadati Monumen Nasional dan sekitarnya. Monas menjadi tempat Wuquf umat Islam yang dengan khusyuk lantunkan salawat, dzikir atau doa-doa untuk Indonesia yang bermartabat. 

Khutbah Rizieq juga sangat kontekstual. Jika diperas, inti dari khutbah Rizieq ini menegaskan pentingnya komitmen dan tanggung jawab umat Islam sebagai hamba Allah sekaligus warga negara RI. Sebagai hamba Allah umat Islam haruslah bertaqwa,  menegakkan Amar Ma'ruf Nahy Munkar dan meyakini bahwa posisi ayat-ayat al-Qur'an itu lebih tinggi dari konstitusi karena ayat al-Qur'an adalah firman Allah.

Karena itu, tidak boleh ada pertentangan antara konstitusi atau undang-undang, peraturan dengan ayat-ayat al-Qur'an. Pandangan Rizieq ini memperkokoh keyakinan yang sebetulnya selama ini telah berkembang bahwa Negara RI dengan Pancasila adalah sebuah negeri yang tidak sekedar menjunjung tinggi agama akan tetapi haruslah dijiwai oleh agama. Ini tercermin di Sila Pertama.

Semua pihak, baik pemerintah maupun rakyat haruslah melindungi agama, tidak boleh ada penistaan; tidak boleh ada yang merendahkan dan melecehkan agama. Penganut agama minoritas harus menghormati mayoritas. Begitu juga sebaliknya yang mayoritas menghargai yang minoritas. 

Sebagai umat beragama dan warga bangsa harus saling menjaga. Siapapun yang melecehkan,  merendahkan atau menista ajaran agama lain berarti menentang falsafah bangsa dan harus dihukum. Negara Indonesia akan menjadi negeri penuh kedamaian jika berhasil dibebaskan dari segala bentuk kemunkaran.
  
Kuat penegasan Rizieq dalam khutbahnya untuk mencintai, merawat dan menjaga NKRI antara lain dengan melaksanakan ajaran Islam tegakkan Amar Ma'ruf Nahy Munkar. Bagi Rizieq, sebagaimana yang disebutkan di atas, Indonesia akan menjadi sebuah negeri yang damai jika semua umat Islam khususnya melaksanakan ajaran agama dengan sungguh-sungguh. Pandangan seperti ini sejalan dengan pandangan mainstream banyak orang dan tokoh ummat Islam termasuk yang berkembang di Muhammadiyah dan NU.

Islam haruslah dan telah menjadi bagian penting dari bangsa dan negara Indonesia. Muhammadiyah malah sudah menegaskan bahwa Indonesia adalah Darul Ahdi was Syahadah.  Pekerjaan penting yang harus menjadi perhatian ummat Islam antara lain meyakinkan pemerintah dan kekuatan sosial politik agar bersungguh-sungguh mengelola negara dan bangsa sehingga kemaslahatan,  keadilan bisa terwujud. Hal ini tentu saja sangat penting dan mendasar karena secara kasat mata Indonesia telah dibajak oleh kelompok  berpengaruh yang menggerogoti kekayaan dan kedaulatan negara.

Indonesia akan dibuat bangkrut dan bertekuk lutut di hadapan kekuatan ini. Kemaslahatan dan keadilan sama sekali belum tercipta.  Inilah yang harus diperjuangkan. Memperjuangkan hal ini berarti memperjuangkan Islam,  kemanusiaan,  bangsa dan negara.

Jadi,  Khutbah Rizieq adalah seruan tegas soal kewajiban menegakkan ajaran agama,  menghormati agama dan penganut agama lain,  tegakkan Amar Ma'ruf Nahy Munkar,  perkuat nasionalisme dan jauhi liberalisme sekularisme wujudkan keadilan. Tidak rinci memang, akan tetapi topik-topik tersebut mengisyaratkan wujud Indonesia ke depan seperti apa yang diharapkan ummat Islam paling tidak sepanjang yang terungkapkan dalam Khutbah Jum'at Habib Rizieq saat Wuquf di Monas.

Tentu saja perjuangan tidak terhenti dengan aksi 212. Masih ada kelanjutannya yang hemat saya akan semakin esensial dan fundamental yang tetap melibatkan siapa saja yang peduli dengan Indonesia Raya,  Indonesia Merdeka. Kerayaan dan kemerdekaan yang esensial bukan festival. Wallahu a'lam.***

Penulis adalah cendikiawan muslim, Dosen tetap UIN Jakarta dan Wakil Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA