Inilah pertanyaan penting dan strategis paska people power 4 November 2016. Aksi yang semula begitu damai, di malam hari berubah menjadi rusuh di sana sini. Isupun menjadi liar.
Jawaban dari pertanyaan di atas YA, YES, POSITIF.
----
Ada empat alasan mengapa Ahok Tersangka adalah keseimbangan yang paling damai, elegan, dan bisa diterima oleh semua pihak. Dan hasil itu sesuai pula dengan jargon hukum sebagai panglima.
Pertama, pemerintah tak kehilangan muka. Jusuf Kalla selaku wakil pemerintah sudah berbicara yang disebar media. Kapolri berjanji menuntaskan kasus Ahok secara tegas dan cepat dalam waktu 2 minggu.
Memori publik cepat mencatat, paling lama waktu yang ditunggu itu tanggal 18 November 2016.
Dalam proses itu, dapat terlihat bahwa hukum murni yang bekerja. Dunia luar bisa diyakinkan bahwa Ahok menjadi tersangka bukan karena tuntutan massa. Toh dengan menjadi tersangka, Ahok belum tentu bersalah. Pengadilan yang nanti memutuskan.
Wibawa Jokowi selaku presiden Indonesia juga bisa diselamatkan. Tak seperti yang dituduhkan bahwa Jokowi melindungi Ahok. Tak ada pula kartu AS Jokowi yang dipegang Ahok seperti yang dituduhkan. Toh, Ahok terbukti tersangka.
Kedua, gerakan Bela Islam juga tak kehilangan muka. Gerakan ini berhasil menghimpun people power yang mungkin terbesar setelah reformasi.
Ia disebut people power karena banyak peserta yang swadana, membiayai kedatangannya sendiri. Banyak pula yang didanai oleh komunitasnya.
Jumlah mereka yang berkumpul di Jakarta, ada yang menyebut mulai dari 150 ribu hingga 1 juta. Mereka menyuarakan hal yang sama: Hukum Ahok, Si Penista Agama. Itulah yang riel terjadi, terlepas kita setuju atau tidak dengan substansi tuntutan itu.
Tentu gerakan ini dituntut oleh komunitasnya. Apa hasilnya? Apakah gerakan hanya menghasilkan berita saja? Tanpa ada hasil yang kongkret soal Ahok, secara common sense saja pasti akan memicu gerakan yang lebih besar lagi. Massa membutuhkan keadilan hukum.
Ini berbahaya buat negara. Apalagi api gerakan itu girah agama. Bisa jadi ada politisasi di sana sini. Namun siapapun yang sudah malang melintang dengan dunia gerakan, segera mengerti. Mustahil ada gerakan sebesar itu jika tak ada gerakan hati yang memang jujur dirasakan oleh pelakunya. Gerakan hati itu girah agama.
Ahok tersangka menjadi pencapaian minimal yang bisa memuaskan mereka. Jika ingin lebih dari itu, lebih mudah mereka diarahkan untuk menyerahkannya ke pengadilan. Ahok tersangka bentuk paling kasat mata yang bisa meredakan gerakan.
Ketiga, ini paling aman dan paling adil buat Ahok sendiri. Sudah menyebar aneka seruan jika hukum nasional tidak dijalankan secara cepat dan tegas, hukum agama yang akan bekerja. Meluas di social media ada yang bahkan menghadiahkan uang untuk hukum jalanan itu.
Di satu lokasi ketika kampanye, Ahok bahkan diuber massa. Ia lalu diselamatkan lewat angkot. Siapa yang bisa menjamin, ke depan setelah 4 November hal itu tak kan terjadi lagi? Ini juga tak adil dan kasihan buat Ahok.
Dengan menjadi tersangka, toh Ahok belum tentu bersalah. Ia bisa membela diri di pengadilan. Namun status tersangka itu justru melindungi Ahok dari hukum jalanan dan hukum agama.
Dalam situasi seperti sekarang, para pendukung Ahok harus lebih terbuka mata. Kemarahan karena girah agama itu riel. Ini tak bisa dihadapi semata dengan mengajak berdebat soal tafsir. Biarlah nanti hakim yang memutuskan.
Keempat, dengan Ahok tersangka, isu gerakan bisa dikontrol. Sudah mulai ada isu yang mengalihkannya untuk turunkan Jokowi. Kaum minoritas sudah pula kwatir peristiwa 98 terulang kembali. Saat ini etnik Tionghoa menjadi sasaran amuk massa. Ada pula yang mengarahkannya untuk gerakan kembali ke UUD 45z
Kita tak ingin people power ini menjadi liar. Semua harus "kembali ke laptop." Akar masalahnya ada di Ahok. Kembali dan berakhir di Ahok saja.
Inilah pilihan sulit bagi kita sebagai bangsa. Membawa Ahok selaku mantan gubernur ke ranah hukum karena menista agama memang bukan hal yang harum. Namun jika itu tak dilakukan cepat dan segera akan jauh lebih buruk lagi buat kita semua.
Apalagi pasal yang potensial dilanggar memang ada: pasal 156 junto 156a KUHP.
-----
Dua belas jam setelah people power 4 November itu, kita bisa mengevaluasi plus minus gerakan baik dari sisi respon pemerintah, ataupun pelaku gerakan.
Yang positif, Jusuf Kalla sekali lagi terlihat leadershipnya. Pernyataannya bahwa kasus Ahok akan tuntas secara hukum paling lambat dalam waktu dua minggu, itu adalah respon yang sesuai dgn prinsip "the good governance": memberi kepastian dan sesuai dengan supremasi hukum.
Yang negatif: Jokowi selaku presiden rakyat terkesan tidak bersedia jumpa rakyatnya. Padahal selama ini Jokowi terkenal dengan blusukannya. Jika ingin menggusur ketika ia walikota Solo atau Gubernur Jakarta, ia jumpa dengan rakyatnya berkali kali. Rakyat terasa dimanusiakan.
Kini mengapa terbalik. Ratusan ribu rakyat datang ke istana. Ingin jumpa baik baik dengan presiden mereka secara damai. Jokowi malah menghilang dari istana dan memilih mengirim wakil.
Yang positif, sampai sholat magrib, people power ini berhasil menjadi gerakan tertib dan damai. Murni dari sisi aksi demo, itu pencapaian luar biasa.
Yang negatif, sayangnya setelah magrib, pelan pelan terjadi kerusuhan di sana sini. Belum kita tahu secara persis siapa yang sesungguhnya memulai.
----
Ahok benar-benar harus belajar soal ini. Di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, yang menjadi gubernur juga dari penganut agama minoritas. Namun di dua propinsi itu tak terjadi aksi protes sebesar Jakarta.
Kemarahan publik pada Ahok adalah akumulasi atas persepsi bahwa selaku penguasa, Ahok terkesan pongah. Enteng saja ia memaki ibu rakyat kecil dengan sebutan maling. Itu ia lakukan dihadapan banyak orang. Apakah Ahok tak berpikir ibu itu punya anak, saudara yang menyaksikan adegan itu.
Enteng saja ia bicara di TV dengan menyebut, maaf TAIK, TAIK." Padahal TV itu ditonton anak-anak. Bagaimana jika anak anak itu meniru Ahok dan mengatakan Ahok saja boleh kok ngomong TAIK di TV.
Enteng saja ia mengatakan bersedia membunuh 2000 orang untuk melindungi 10 juta. Enteng saja ia menggusur rakyat kecil yang sebagian tak selayaknya ia perlakukan seperti itu. LBH bahkan ikut mendampingi kasus rakyat tergusur.
Enteng pula Ahok mengecilkan partai politik. Tapi kemudian ia justru maju melalui partai politik.
Luka dan kemarahan atas Ahok sesungguhnya sudah lama dan terakumulasi. Ketika ia menyebut surat Al Maidah, itu sesungguhnya menjadi GONG. Mereka yang memang marah karena alasan agama bertemu dengan mereka yang marah karena alasan lain.
Namun Ahok tentu berhak atas keadilan. Hukum nasional adalah tempat yang paling baik buatnya. Ahok harus dianggap tak bersalah sampai hakim memutuskan sebaliknya.
Semoga kasus Ahok dapat memperkuat kembali kita sebagai bangsa. Pancasila, NKRI dan Bhinekka Tungga Ika, serta Indonesia Tanpa Diskriminasi menjadi panduan kolektif kita.
Akankah Ahok menjadi tersangka sebelum 18 November 2016? Kita tunggu bersama.
[***]
Penulis adalah pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI).
BERITA TERKAIT: