Kakek dan nenek atau orang lanjut usia diberi kesempatan untuk berbagi pengalaman sekaligus pesan kewicaksanaan (wisdom) sehingga anak-anak dan kaum muda pada umumnya dapat belajar dan sekaligus meningkatkan kesadaran dan penghormatan pada para senior. Terkait hal ini, menyimak cerita si bungsu dari hari Oma dan Opa ini memberikan pesan implisit tentang regenerasi sekaligus kesadaran tentang usia manusia yang terbatas, bahkan terbilang pendek.
Terkait usia, nampaknya waktu terasa cepat sehingga tak terasa usia yang telah dinikmati sudah terus bertambah yang bermakna sisa umur yang tersisa berkurang.Terkait perjalanan waktu dan usia manusia, Mindy Sreenstein dan Jimmy Holland (2014)menceritakan dengan sangat elok yang mengesankan buku bertajuk "Lighter as we go: virtues, character strengths and aging".
Menurut sepasang senior yang lama berkesimpung di bidang psikologi dan kedokteran ini, usia manusia laksana pohon yang makin membesar yang membutuhkan ketegaran seiring dengan bertambahnya cabang pohon yang akan diterpa angin sebagai siloka tantangan. Sebagai "sepuh" keduanya tentu telah mengalami suka dan duka kehidupan beserta beragam yang pernah ditapakinya.
Tantangan pertama yang dilalui setiap orang adalah tantangan untuk meraih kematangan fisik, mental-spiritual dan juga sosial. Pada tahap ini modal sekolah saja tidak cukup dibutuhkan juga pengalaman dan interaksi bagaimana mengelola diri secara tepat sehingga mampu bersikap adil pada diri sendiri, proporsional terhadap keluarga dan orang terdekat serta bijak dalam berinteraksi dengan khalayak.
Setelah berhasil melewati tahap pertumbuhan tersebut, sampai pada tahap proses menjadi "matang" sehingga mampu mendidik keturunan atau generasi muda sebagai calon pelanjut dinamika peradaban. Setelah proses ini terlewati dan anak-anak sudah mandiri, tahap selanjutnya adalah usia "matang" bersamaan dengan tuntutan kemampuan untuk beradaptasi seriring dengan mulai hilangnya teman dan juga keluarga atau pasangan di saat terjadi penuaan. Dalam perubahan ini, kerelaan untuk menyikapi perubahan fisik seiring usia yang menua dengan melakukan penyesuaian terhadap beragam ambisi dan harapan menjadi tak terhindarkan.
Sebagaimana laiknya pohon, pohon yang besar alias usia tua sama dengan pohon sewaktu kecil dalam kebutuhan yang menyertainya. Penjelasan Mindy dan Jimmy yang sudah mencicipi siklus usia di negerinya yang berpola U tentu tak sepenuhnya persis berlaku di Indonesia secara umum namun cukup merefleksikan gambaran manusia pada umumnya.
Pola U yang lazim terjadi di negeri mapan dimulai dengan masa penuh keceriaan dan kesemarakan sejak lahir sampai akhir remaja yang dilanjutkan dengan memulai menjalani tantangan. Sehingga selepas usia18 tahun atau dewasa awal berubah menjadi kerikil perjuangan untuk meraih asa dan cita sampai sekira usia 50 tahun. Inilah masa perjuangan sehingga secara umum penuh tekanan dan menurunkan "kebahagiaan".
Setelah usia 50 atau 60, menjelang pensiun mengalami perbaikan kembali alias rebound dalam aspek keceriaan dan kebahagiaan yang muaranya adalah bahagia lahir batin di akhir hayat. Di masa akhir ini, anak-anak sudah mandiri dan pekerjaan mulai berkurang bahkan berhenti sehingga beban berkurang dan kesempatan untuk menikmati hidup bersama pasangan dengan berwisata atau beraktivitas sosial mampu menambah keceriaan sekaligus rasa puas telah melampaui beragam fase secara baik dan menyenangkan.
Kenyamanan dan kebahagian umat manusia, menurut beberapa penekun ilmu perilaku atau Gedrags en Maatschappijwetenschappen secara umum berbentuk U yang artinya bahagia sewaktu awal perkembangan (early child) sampai dewasa seiring tantangan kehidupan nyata yang kompetitif dan menjelang lansia sampai wafat cenderung meningkat kembali alias menua dan kembali ke hadiratNya dengan senyum merekah (khusnul khatimah) sebagaimana secara umum diulas, diantarnya oleh Blanchflower dan Oswald (2008) di Jurnal "Social Science and Medicine" edisi 66 dengan tajuk "Is well-being U-shaped over the life cycle?".
Bagaimana kebahagiaan di Indonesia secara umum dan tren kebahagian dengan usia. Kalau kita tengok data BPS termutakhir, rerata orang Indonesia cukup bahagia. Sebagai contoh, Indeks Kebahagiaan Nasional dihitung berdasarkan penilaian atas kepuasan masyarakat terhadap 10 aspek kehidupan diantaranya pendapatan rumah tangga, kondisi rumah dan aset, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, ketersediaan waktu luang, hubungan sosial, keharmonisan keluarga, kondisi keamanan serta kondisi lingkungan.
Jika dibandingkan tahun 2013, maka aspek pendapatan rumah tangga mengalami kenaikan paling signifikan hingga 5,06 poin menjadi 63,09. Sementara keharmonisan keluarga mengalami peningkatan paling rendah 0,78 poin ke level 78,89. Selanjutnya, yang sedikit memprihatinkan, meningkatnya aspek pendidikan justru berkorelasi dengan menurunnya indeks kebahagiaan sehingga relatife rendah sekitar 58,28. Menariknya, masyarakat yang tinggal di perkotaan nampaknya memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi 69,62 dibandingkan indeks kebahagiaan masyarakat yang bermukim di perdesaan yang hanya 66,95. Lalu, dikaitkan dengan kategori jenis kelamin, peremuan memiliki tingkat kebahagiaan lebih tinggi mencapai 68,61 dibandingkan pria yang hanya memiliki indeks kebahagiaan 67,94.
Sekalipun relatif bahagia, kebahagian penduduk Indonesia cenderung menurun seiring bertambahnya usia. Naga-naganya penuaan di Indonesia sebagaimana ditunjukan data Indonesia Family Life Survey (IFLS) tidak berpola U sehingga tidak mengalami "rebound" di usia tua. Fakta ini nampaknya berhubungan juga dengan kemandirian dan situasi keuangan di usia lansia yang secara umum belum membaik dengan tak memadainya sistem jaminan sosial hari tua yang universal.
Kenyataan ini, memberi sinyal dan pesan agar kita lebih memperhatikan para lanjut usia, setidaknya orang tua kita dan kerabat kita yang sudah mengancik lanjut usia. Tentu sebagai muslim ini sangat mendasar karena keridhaanNya sangat tergantung pada keridhaan orang tua kita. Semoga kita menjadi putra-putri yang peduli dan beikhtiar membahagiakan orang tua, baik penghormatan, spiritualitas dan juga materi. Tak lupa juga senantiasa memunajatkan do'a dan harapan agar orang tua dimaafkan kekhilafannya dan senantiasa ada dalam cinta kasihNya sebagaimana mereka mencurahkan cinta yang tak mungkin terbalas pada kita semua sejak dalam kandungan. Amien.
[***]Penulis adalah peneliti di The Inter-university Center for Social Science Theory and Methodology (ICS),University of Groningen, The Netherlands
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.