Hentikan Proses Buang-buang Duit Di Pilkada Jatim

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ruslan-tambak-1'>RUSLAN TAMBAK</a>
LAPORAN: RUSLAN TAMBAK
  • Jumat, 26 Agustus 2016, 08:26 WIB
Hentikan Proses Buang-buang Duit Di Pilkada Jatim
Foto/Net
rmol news logo . Biaya demokrasi di Indonesia sangat mahal. Dan ironisnya, buah dari demokrasi tersebut hanya dinikmati oleh segelintir orang saja.

Pemerhati politik dan militer asal Surabaya, Agung Sumartono, menyebutkan, dana untuk Pilkada Jawa Timur (Jatim) 2018 yang diperkirakan mencapai angka Rp 1,6 triliun, sangat fantastis.

"Angka yang fantastis hanya demi memilih pemimpin daerah. Bandingkan dengan anggaran untuk sektor pendidikan tahun 2016 yang hanya Rp 290 miliar, jelas sangat jauh nilainya. Sangat ironis!" kata Agung Sumartono, Jumat (26/8).

Ia sangat menyayangkan dana sebesar Rp 1,6 triliun hanya digunakan pesta sesaat atas nama demokrasi. Itu berulang setiap lima tahun sekali, dan belum tentu juga yang terpilih nanti akan berpihak pada kepentingan rakyat.

Lalu, untuk menutupi dana Pilkada yang sangat besar tersebut, Gubernur Jatim Soekarwo alias Pakde Karwo berencana mencari tambahan dari sektor swasta. "Dan yang lebih miris lagi anggota DPRD menyarankan untuk berhutang dan menjual aset aset daerah demi menutupi biaya Pilkada tersebut," ungkap Agung Sumartono.

Terkait dengan mencari pendapatan dari sektor swasta untuk menutupi biaya Pilkada tersebut seperti yang ditegaskan Pakde Karwo, yaitu dengan cara membuka kerja sama investasi dengan negara lain, mendongkrak pendapatan dari sektor pelabuhan, hingga pemaksimalan kerja BUMD. Menurut Agung Sumartono, ini sama saja dengan memakai uang dari APBD alias uang rakyat karena semua pendapatan tersebut harusnya masuk kas daerah dan menjadi PAD.

"Lain halnya apabila gubernur meminta sumbangan dari pengusaha pemilik perusahaan atau pemilik modal yang ada di Jawa Timur untuk menutupi biaya Pilkada tersebut, maka hal ini bisa di sebut mencari pendapatan dari sektor swasta," imbuhnya.

Sambung Agung Sumartono, pertanyaannya apakah para pengusaha tersebut ikhlas memberikan sumbangan untuk Pilkada? Jelas Agung Sumartono, tentunya tidak ada yang gratis. Ditambah lagi para pemilik modal tersebut juga ikut membiayai para calon kepala daerah. Maka, dipastikan siapapun pemenangnya dan apapun hasilnya dari proses Pilkada tersebut pasti ujung-ujungnya akan berpihak kepada pengusaha atau pemilik modal dan bukan kepada rakyat. Karena dari sisi penyelenggara maupun calon yang bertarung merasa punya hutang budi.

"Oleh karena itu sudah sepantaslah proses buang-buang uang ini harus dihentikan dan beralih kepada sistem Islam. Para gubernur atau wali diangkat langsung oleh khalifah dan pastinya tanpa mengeluarkan biaya yang selangit sebagaimana sistem demokrasi. Bosan kan dengan demokrasi? Masih enak khilafah toh," tukas Agung Sumartono. [rus]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA