"Reformasi total dalam tubuh kepolisian mutlak dilakukan sejalan dengan visi dan misi nawa cita Presiden Jokowi," kata analis politik & HAM Labor Institute Indonesia, Andy William Sinaga kepada redaksi, Jumat (1/7).
Menurut Andy, hal yang pertama dilakukan oleh Tito dalam rangka reformasi total di tubuh kepolisian adalah konsolidasi internal dan struktur manajemen Polri.
Konsolidasi internal dan reformasi struktur manajemen Polri penting dilakukan untuk merubah image alias pandangan masyarakat akan eksistensi Polri di masyarakat yang selama ini kurang merasa nyaman dan puas atas pelayanan Polri terutama garda terdepan Polri di Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) di tingkat sektor/kecamatan.
"Personel dan fasilitas kepolisian di tingkat sektor ini, terutama di luar Pulau Jawa masih sangat kurang. Pelayan yang cepat, tepat, simpatik dan tidak ada budaya memberikan "sesuatu" perlu lebih dikampanyekan dan dibuktikan oleh polisi kepada masyarakat," ungkap Andy.
Selanjutnya, reformasi dalam peningkatan kesejahteraan anggota kepolisian khususnya berpangkat tamtama dan bintara. Jelas Andy, sebagai anggota yang terdepan dalam pelayaan masyarakat kesejahteraan para tamtama dan bintara perlu lebih ditingkatkan agar mental mereka lebih baik, sehingga niatan untuk melakukan kecurangan seperti melakukan razia illegal dan menerima "sesuatu" dalam menjalankan tugasnya dapat diminimalisir.
"Budaya "86" atau "damai" ketika melakukan proses tilang yang kerap dilakukan oleh oknum satuan lalu lintas (Satlantas), yang bukan sudah menjadi rahasia umum juga dapat dihapuskan. Untuk itu peran satuan Pengawasan Internal (Propam) dapat lebih ditingkatkan untuk mengawasi peran para oknum polisi nakal tersebut, sehingga hukum dapat lebih ditegakkan," imbuhnya.
Untuk itu, lanjut Andy, kurikulum pendidikan di sekolah calon tamtama dan bintara perlu lebih ditingkatkan kualitasnya khususnya etika dan moralitas agar kedepan para lulusan tamtama dan bintara tersebut dapat lebih profesional.
Sementara itu ungkap Andy, proses rekruitmen anggota kepolisian saat ini sudah mulai membaik, dikarenakan budaya backup dan mengeluarkan sejumlah biaya tertentu untuk meloloskan seseorang menjadi anggota Polri sudah semakin berkurang. Keadaan ini perlu dipertahankan dan ditingkatkan.
"Pelajaran tentang hak azasi manusia (HAM) dan anti korupsi perlu masuk dalam setiap mata pelajaran di sekolah atau akademi kepolisian untuk menghasilkan tenaga kepolisian yang handal dalam melakukan tugas dan menjunjung HAM serta jauh dari niatan atau budaya korupsi," katanya.
Terakhir, proses penempatan para pimpinan sektor, wilayah, daerah dan pimpinan di tingkat markas besar perlu direformasi dengan menempatkan calon-calon pimpinan pilihan yang mempunyai tingkat kemampuan kepolisian, intelektualitas dan moralitas yang tinggi, agar dapat membina, membimbing dan memimpin anggotanya dengan baik dan profesionalitas.
Peran dewan kepangkatan dan jabatan di tubuh kepolisian sebagai lembaga penyeleksi calon pimpinan kepolisian juga agar lebih jeli dalam menempatkan personel Polri untuk memimpin di setiap jenjang jabatan dan kewilayahan.
"Reformasi untuk menghasilkan Bhayangkara, yang dalam bahasa sansekerta mengandung arti penjaga, pengawal, dan pelindung keselamatan negara dan bangsa. Peran Bhayangkara menjadi lebih profesional dalam menjaga dan mengawal dari keselamatan dan ketertiban setiap warga negara dapat dirasakan," demikian Andy.
[rus]
BERITA TERKAIT: