Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Teka Teki Munaslub Golkar Dan Dinamika Politik (6-Habis)

Menang Jadi Arang Kalah Jadi Abu

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/zainal-bintang-5'>ZAINAL BINTANG</a>
OLEH: ZAINAL BINTANG
  • Senin, 06 Juni 2016, 18:31 WIB
Teka Teki Munaslub Golkar Dan Dinamika Politik (6-Habis)
zainal bintang/net
"MENANG jadi arang kalah jadi abu". Pepatah klasik ini jika diterjemahkan secara bebas, ia bermakna : Menang maupun kalah pada suatu pertikaian sama-sama tidak mendapatkan keuntungan apa-apa.

Pepatah klasik ini rasanya tidak terlalu keliru jika dihadapkan dengan apa yang menimpa dua petinggi Golkar yang bertikai habis-habisan selama satu tahun  setengah, yakni ARB (Aburizal Bakrie) dan AL (Agung Laksono).

Senang atau tidak senang, hasil maksimal Munaslub (Musyawarah Nasional Luar Biasa) Partai Golkar yang berlangsung di Bali 14-17 Mei 2016 memang membawa perubahan. Memang dilandasi semangat rekonsoliasi.

Hasilnya: ARB dan AL terpental dari posisi kunci sebagai "Golkar Satu" alias sebagai Ketua Umum. Padahal, sebelum Munaslub dan sebelum rekonsiliasi, kedua tokoh papan atas Golkar itu menjabat sebagai Ketua Umum. Keduanya sangat perkasa dipucuk pimpinan parpol berlambang pohon beringin.

Kapal induk yang bernama Golkar itu memilih Ketua Umumnya yang baru Setya Novanto. Didampingi Ketua Harian Nurdin Halid dan Sekjen (petahana) Idrus Marham.

Tidak bisa disembunyikan betapa besarnya rasa sedih yang dirasakan oleh ARB dengan kenyataan keras itu. Dalam berbagai penampilan ARB, sejak pembukaan dan di beberapa kali dalam sidang-sidang Munaslub, suara gundah gulana tidak dapat disembunyikannya ketika menyampaikan pencerahan atau pengarahan.

Berdasarkan catatan yang ada, sejak pidato politik pada Rapimnas di bulan Januari 2015,  maupun dalam wawancaranya dengan sebuah majalah nasional, ARB secara blak-blakan mengakui: "Pemerintah Tidak Suka Kalau Saya Yang Jadi Ketua Umum Golkar". Atas dasar itu ARB terang terangan mengatakan, "supermasi hukum di Indonesia masih berada di bawah kekuasaan (politik)".

Pada saat Munaslub berlangsung, masih banyak pengurus Golkar baik di tingkat pusat maupun Provinsi dan Kabupaten Kota, yang secara terbuka menyesalkan adanya Munaslub.

Mungkin aneh tapi nyata, kebanyakan mereka mempersalahkan manuver AL yang menyelenggarakan Munas tandingan di Ancol, Jakarta. Itu hanya dua hari setelah Munas Golkar di Bali berakhir di awal Desember 2014 dengan memilih ARB sebagai Ketua Umum.

Mereka mempertanyakan dasar hukum atau legitimasi apa yang digunakan AL untuk menyelenggarakan Munas di Ancol? Karena hasil Munas Golkar di Pekanbaru, Riau 2009 secara konstitusional hanya memberi mandat kepada Ketua Umum terpilih yang boleh menjadi penyelenggara Munas berikutnya.

Sementara itu, kubu AL berargumentasi,  dasar mereka adalah sebagai Tim Penyelamat Golkar. Alasannya, mereka tidak puas dan menolak hasil Munas Bali (2014), karena , katanya "penuh rakayasa dan tidak demokratis".

Akan tetapi, semua kader Golkar juga tahu persis, istilah Tim Penyelamat Golkar tidak diatur di dalam AD/ART partai.

Berkaca dari realitas yang anomali ini, pelan-pelan publik menjadi maklum. Kekuasaan tidak menghendaki ARB terpilih lagi. Ini sangat kental terbaca sebagai konsekwensi dari pilihan ARB, yang membawa Golkar bersekutu dengan Prabowo Subianto di dalam KMP (Koalisi Merah Putih) menjadi seteru Jokowi dalam Pilpres 2014.

Dan, maka AL "didorong" ke depan "menghadang" ARB. Namun disayangkan, karena persiapan AL sangat minim kalau boleh dikatakan sangat dipaksakan. Golkar terjebak benang kusut perseteruan. Yang terjadi malahan Golkar jadi "tersandera" konflik antara sesama kader Golkar sendiri.

Bukan saja kurang persiapan, AL juga terlihat kurang mahir memainkan” peluang kontroversi yang diberikan kepadanya dalam bentuk pengakuan dari SK Menkumham. Itu mencapai waktu satu tahun lebih. AL terlihat gamang dan kurang lincah memainkan pertarungan” mati hidup itu. Akibatnya, kubu AL terpukul  mundur. Dalam gabungan kepengurusan menjelang Munaslub, dari 300an lebih pengurus kubu AL hanya ditampung kurang lebih 75 orang. Selebihnya tentu kecewa, menggerutu dan malah mengutuk AL.

Kekalahan berikutnya masih juga dialami kubu AL. Karena dari keseluruhan jumlah pengurus hasil  Munaslub sebanyak 200 orang lebih, dari kubu AL yang tertampung mungkin hanya sebanyak 25 orang. Penyusutan demi penyusutan ini, secara berbanding lurus menimbulkan jumlah kader yang kecewa oleh kegagalan kepemimpinan AL menyelamatkan anak buahnya.

Apapun ceritanya, maka faktanya hasil Munaslub Golkar di Bali hanya sukses "merontokkan" dua tokoh teras dari jajaran kepengurusan eksekutif. ARB mendapat tempat sebagai Ketua Dewan Pembina. Meskipun ada kewenangan untuk cawe-cawe di wilayah pengurus harian, tapi itu tetap membuat ARB seperti orang lumpuh”. Sudah tidak leluasa. Tidak berkuasa dan tidak lagi perkasa.

Lebih memprihatinkan "nasib" AL karena hanya ditempatkan sebagai Ketua Dewan Pakar. Sebuah badan yang dibentuk yang tidak operasional. Lebih berfungsi sebagai think tank alias tangki pemikir. Posisi AL sangat jauh dari hiruk pikuk opersional kegiatan eksekutif partai. Artinya tidak punya kewenangan eksekusi lagi.

Buah dari konflik yang pahit ini memang sangat ironis. Harusnya menjadi pelajaran bagi pengurus Golkar ke depan. Waspadai tangan tak terlihat yang bermanuver melakukan "operasi" senyap. Melalui adu domba yang dramatis, maka dua tokoh penting Golkar tersingkir dari pentas politik nasional di luar kehendak mereka.

Penulis adalah Waka Wantim Ormas MKGR dan anggota Komite Pernyataan Politik Munaslub Golkar 2016.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA