Ketidakjelasan kapan reshuffle jilid dua akan dilakukan oleh PJ, semakin menambah kuatnya spekulasi tersebut dengan argumen bahwa pemunduran pengumuman kocok ulang kabinet adalah menunggu selesainya Munaslub Golkar.
Terlepas dari validitas spekulasi politik tersebut, kemungkinan masuknya personel Golkar dalam kabinet PJ cukup tinggi, bahkan lebih tinggi ketimbang masuknya personel yang konon dari PAN. Kendati demikian, saya kira PJ perlu memertimbangkan lebih mendalam untung rugi dari kocok ulang yang membawa masuk Golkar dalam kabinetnya. Secara politik makro, memasukkan personel Golkar tentu bisa menjadi pengikat politik yang lebih riil terhadap Golkar untuk mendukung PJ. Dengan adanya tambahan dari Golkar dalam kabinet, maka dukungan politik terhadap Istana menjadi lebih inklusif.
Tetapi hal itu juga berarti akan menciptakan reaksi negatif dari parpol yang selama ini menjadi pendukung PJ sejak masa pencapresan. Reaksi Hanura sebagaimana di tautan ini tampaknya merupakan salah satu indikasinya. Sejatinya, dalam susunan kabinet saat ini pun personel Golkar sudah terwakili bahkan sangat strategis, seperti keberadaan Wapres JK dan Menkopolhukam Luhut Panjaitan. Menambah lagi personel kabinet dari Golkar tampaknya tidak terlalu signifikan dibanding dengan rekasi parpol pendukung. Ini belum dihitung reaksi dari PDIP, kendati sampai saat ini belum bersuara mengenai prospek masuknya Golkar dalam kabinet pasca Munaslub Bali.
Dalam politik, masalah trade off atau saling memberi dan menerima, adalah hal yang wajar. Dukungan Golkar terhadap PJ tentu tak akan gratis, namun tidak hanya soal posisi kabinet saja. PJ sudah tentu akan memertimbangkan apakah memasukkan Golkar dalam kabinet akan meningkatkan soliditas, sinergi, dan kinerja tim, atau malah menjadi kerugian politik (political liability) dalam jangka panjang. Mungkin Golkar perlu diminta menunggu sampai Pilpres 2019, jika ia konsisten berada dalam barisan pendukung PJ, maka dalam kabinet yang akan datang bisa menjadi bagian. Bukan pada lima tahun pertama yang kini tinggal tiga tahun setengah ini.
Kalaupun reshuffle tetap akan diagendakan, yang menjadi fokus bukan soal pembagian jatah kepada parpol tetapi kepada masalah kinerja para menteri yang selama ini mendapat nilai merah, baik dari Pemerintah sendiri maupun dari rakyat.
*penulis adalah pengamat politik President University. Tulisan diambil dari halaman facebooknya.
BERITA TERKAIT: