Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Suap Reklamasi (1): Kejahatan Kerah Putih Tidak Pernah Mati

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/zainal-bintang-5'>ZAINAL BINTANG</a>
OLEH: ZAINAL BINTANG
  • Minggu, 03 April 2016, 19:10 WIB
Suap Reklamasi (1): Kejahatan Kerah Putih Tidak Pernah Mati
zainal bintang/net
TERBONGKARNYA kasus suap reklamasi Teluk Jakarta yang melibatkan petinggi DPRD DKI Jakarta M. Sanusi yang tertangkap tangan (OTT) oleh KPK pada Kamis malam (31/3) di Jakarta, disusul penyerahan diri petinggi konglomerat kelas kakap Ariesman Widjaya, Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL), membuka kotak Pandora baru dengan lakon lama 'Kejahatan Kerah Putih Tidak Pernah Mati'.

Kejahatan kerah putih merujuk pada kejahatan yang umumnya dilakukan di dunia bisnis atau birokrasi. Jenis kejahatan semacam itu diantaranya termasuk penggelapan, penipuan, atau korupsi. Ahli kriminologi dan sosiologi, Edwin H.Sutherland, menciptakan istilah ini dalam sebuah pidato pada tahun 1939.

Kasus kejahatan kerah putih di Indonesia sangat menonjol dan terbuka luas ke ruang publik di era reformasi. Presiden Gus terpelanting dari Istana Juli 2001, akibat terpapar kasus kejahatan kerah putih yang melibatkan ring satunya yang dituduh terlibat Dana Yanatera Bulog dan bantuan Sultan Brunei.

Demokratisasi politik yang terbuka sebagai buah reformasi, telah membuka pula panggung besar peran media yang bebas melakukan kontrol sosial yang intens. Berikutnya, masyarakat dengan mudah bisa mengakses berita-berita rangkaian lakon kerah putih yang merontokkan sejumlah menteri, anggota DPR RI, petinggi parpol dari berbagai parpol papan atas di tingkat nasional maupun di tingkat propinsi dan kabupaten. Termasuk Golkar, PDIP dan PKS untuk menyebut beberapa contoh.

Yang tragis karena sejumlah elite kader Partai Demokrat ikut terjerat praktek korupsi, justru ketika pendiri partai itu Susilo Bambang Yudhoyono tengah menjabat presiden ke enam dua periode (2004-2014).

Yang memprihatinkan, lakon korupsi yang melibatkan eksekutif, legislatif dan yudikatif, sampai hari ini masih berlangsung terus sambung menyambung menjadi tontonan gratis public. Bagaikan sinetron 'tragedi kemanusiaan' yang menyeret kelompok papan atas yang berpendidikan tinggi dan hidup berkecukupan. Kejadian yang tidak terpuji mirip lakon sinetron dengan judul 'Dari Rumah Jabatan Ke Rumah Tahanan'.

Siapakah  aktor lain sebagai pemicu maraknya kejahatan kerah putih itu? Pengusaha besar alias konglomerat!!. Semua kejahatan korupsi, penggelapan pajak, dan pembobolan bank selalu ada konglomerat yang menjadi aktor penting. Interaksi intensif dan tak terhindarkan, antara komunitas konglomerat sebagai mesin penggerak ekonomi dengan birokrasi sebagai pengendali legitimasi menciptakan ruang korupsi yang sangat luas.

Konglomerat memperebutkan izin untuk bisnisnya. Eksekutif penentu izin melihat peluang 'perbaikan nasib'. Legislatif berperan sebagai dewa penyelamat pemberi legitimasi atas perizinan. Posisi sentral 'duo serigala' yang seronok itu (eksekutif dan legislatif), mendorong terjadinya negosiasi tanpa moral yang melekat di sumpah jabatan dengan konglomerat. Kejahatan kerah putih berlangsung di bawah langit demokrasi yang terang benderang.
 
There is no free lunch (tidak ada makan siang gratis). Kondisi inilah memproduksi budaya transaksional, peluang kapitalisasi dan menyuburkan gratifikasi, yang semuanya dilakukan oleh tokoh yang seharusnya menjadi panutan bangsa.
 
Yang menyedihkan, pihak konglomerat menggunakan berbagai tehnik pendekatan dalam bentuk suap nilai materielnya yang signifikan. Tehnik lobby itu ditengarai sejak awal telah turut campur tangan di dalam pembentukan pasal-pasal pada dalam undang undang. Tujuannya memperluas wilayah bisnis dibawah proteksi regulasi yang anomali itu. Anomali regulasi itulah yang di dalam implementasinya telah mencampakkan masyarakat miskin jauh keluar wilayah peradaban. Lahan mereka di rampas, rumah tinggal digusur dan sumber nafkah mereka diobrak-abrik. 

Percobaan perlawanan melalui lembaga penegakan hukum, malah menambah kesedihan dan kekecewaan banyak rakyat miskisn itu. Tangan hukum yang diyakini sebagai dewa penolong sikecil nyatanya jauh panggang dari api. Negara seakan tidak hadir melindungi si kecil sesuai dengan amanat konstitusi. Konspirasi 'trio macan' (eksekutif, legislatif dan yudikatif)  berfungsi sebagai predator rakyat lemah yang tidak berdaya.

Fenomena tragis yang menyayat kalbu Ibu Pertiwi, sebagaimana yang tergambarkan di atas, itu adalah anak kandung produk bengis dari persekongkolan kelompok penggerak kejahatan kerah putih.

Dan hari ini, sejarah membuka diri menampilkan fakta kontras dalam kehidupan bangsa kita. Kejahatan kerah putih telah menjauhkan bangsa ini dari cita-cita proklamasi akan lahirnya masyarakat makmur, sejahtera dan berkeadilan. Yang terjadi, gedung-gedung pencakar langit yang menghiasi kota-kota besar sebagai simbol kemajuan, ternyata yang menjadi pondasi pembangunannya adalah darah dan air mata rakyat kecil. Ini primitif.

Kesenjangan sosial yang menganga di depan kita adalah bom waktu yang sewaktu-waktu meledak merobek NKRI berkeping-keping. Akankah negara membiarkan kesenjangan ini berkepanjangan? Perlu tindakan cepat konsepsional sarat ideologi berbasis semangat kebangsaan yang total dari semua pemangku kepentingan. Indonesia sedang bergegas...!![***]

Penulis adalah wartawan senior, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA